Didedikasikan untuk Kak Mahes dan keluarganya.
.....
Suasana kelas siang itu begitu hening. Tak ada satu suara yang berani menyahut atau menjawab pertanyaan Ibu Dwitanti, seorang guru matematika muda yang baru dua bulan mengajar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS / sekolah Belanda untuk bumiputera). Keringat dingin mengucur bebas di kening para murid, siang yang terik ini tidak sama sekali menghentikan aliran keringat penuh rasa gugup yang terus mengalir membasahi wajah mereka, lengkap dengan air ludah yang terus mereka tenggak demi melepaskan rasa takut.
Beberapa lainnya menunduk menatap apapun yang berada di bawah mejanya, entah itu kaki beralaskan sepatu atau jejeran semut hitam yang tengah membawa buliran makanan menuju sarangnya. Suasana siang itu masih tegang, Ibu Dwitanti berjalan mengelilingi kelas dengan kedua tangan yang terlipat ke belakang tubuhnya. Langkah perlahan penuh tekanan bagi para murid.
Kahiyang menggigit bibir bagian bawahnya pelan, kaki kiri gadis ini terus bergerak-gerak tak bisa diam, raut wajahnya sedikit menampakkan rasa kesal. Sudah dua menit lamanya pertanyaan Ibu Dwitanti tentang pelajaran mereka kala itu tidak ada yang menjawab, para murid serentak tidak mau membuka mulutnya yang seakan terjahit rapat-rapat. Sedangkan saat Kahiyang yang ingin menjawab soal itu, gurunya mencegah dirinya sesegera mungkin dengan alasan kalau Kahiyang telah terlalu banyak menjawab soal. Alasan tidak masuk akal!
Tentu hal ini membuat Kahiyang gemas bukan main. Masih dengan posisi kaki yang tak bisa diam dan raut wajahnya itu, Kahiyang dengan penuh harap menatap bola mata hitam milik gurunya itu. Memberikannya tatapan penuh memelas agar sang guru dapat memperbolehkan dirinya menjawab soal. Ibu Dwitanti menatap Kahiyang dengan satu alis kanannya yang naik ke atas, lalu mengalihkan pandangan seolah-olah tak melihat wajah memelas Kahiyang.
Kahiyang tak kehabisan akal, ia merubah posisi sebelumnya. Kini ia memautkan bibirnya ke depan, tak lupa kedua tangan yang ia satukan, pertanda seperti sedang memohon, matanya penuh binar-binar dan penuh semangat, mencoba menarik simpati sang guru muda agar dapat meliriknya lagi. Usaha Kahiyang tak sia-sia, posisi konyolnya dia kali ini dapat menarik perhatian Ibu Dwitanti.
Guru muda itu mendongakkan kepalanya, ia menghembuskan nafas pasrah, seraya berkata, "Baiklah, kalau belum ada yang bisa menjawab, Kahiyang, kamu boleh menjawab soal ini."
Dengan cepat Kahiyang bangkit, tangannya menggebrak mejanya yang malang dengan penuh semangat. Seketika setelah Kahiyang berdiri dan berjalan mendekati papan tulis, suasana kelas kembali menjadi normal. Sedikit riuh bisik-bisik para murid yang mengobrol kembali terdengar, membicarakan suasana tegang barusan serta tak lupa memuji Kahiyang yang dengan berani bak pahlawan ia menyelamatkan kelas dengan keinginannya menjawab soal.
Sebenarnya para murid ingin sekali dapat menjawab soal yang diberikan oleh Ibu Dwitanti, namun soal dengan bahasan aljabar itu tidaklah mudah bagi beberapa orang. Tepatnya bagi seluruh siswa di kelas, kecuali Kahiyang tentu saja. Perempuan muda itu memang mencintai pelajaran matematika, pelajaran itu bagaikan pujaan hatinya. Perasaan Kahiyang baru dapat tenang jika ia sudah menyelesaikan permasalahan soal matematika. Lain dengan teman-temannya yang tidak terlalu menyukai pelajaran mematikan ini, Kahiyang sangat bahagia dan menikmati setiap ia menjawab soal.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐮𝐫𝐚𝐭 𝐔𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐊𝐚𝐡𝐢𝐲𝐚𝐧𝐠
Historical Fiction[Terinspirasi dari kisah nyata. Beberapa kejadian bedasarkan pengalaman yang sebenarnya] ~°~° Suatu siang, selepas pulang sekolah rakyat, Kahiyang yang polos dan periang dikejutkan dengan temuan secarik surat tanpa pengirim dalam andong yang orangtu...