07. Pulang

913 170 48
                                    

Karena yang menang vote malam minggu, jadinya setiap malam minggu ya update Kahiyang! Sekalian menemani kalian semua yang menganut jomblonisme wkwk.

Btw, si bungsu Agniasari ada di mulmed~

....

Terik matahari memancar tajam, menyilaukan setiap objek mata memandang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terik matahari memancar tajam, menyilaukan setiap objek mata memandang. Membuat Kahiyang secara berkala menyipitkan matanya hanya untuk melihat apa yang ada di depannya. Pukul satu siang memang digadang-gadang sebagai puncak panasnya matahari, tak khayal pula itu yang membuat Kahiyang mandi peluh karena keringat tak sudah-sudahnya terus mengalir mengucuri seluruh tubuhnya.

Tangan kanan gadis ini terangkat ke atas wajah, mencoba membuat atap bayangan kecil supaya menutupi kedua matanya dari sinar matahari siang itu. Kahiyang kini tengah berjalan sendirian menuju persimpangan Embong Gede demi mencari andong. Ia mencoba mendengarkan nasihat ibunya untuk tidak mencari andong di depan pabrik lagi, dan karena alasan itulah sekarang dia berjalan cukup jauh dari area sekolah hanya untuk mencari tumpangan untuk pulang.

Jelas saja Kahiyang tak dapat menaiki andong Kang Darto, karena lelaki tua itu selalu mangkal di depan pabrik, tempat yang menjadi pantangan besar untuknya saat ini. Karena itu, Kahiyang harus menaiki andong lain demi kembali pulang ke rumah, bahkan dirinya rela berjalan jauh. Kahiyang mengusap peluh di wajahnya, mencoba menghalau keringat untuk masuk meringsek ke dalam mata.

Setelah kurang lebih setengah jam berjalan, Kahiyang akhirnya menemukan satu buah jejeran andong yang sedang menunggu penumpang. Gadis ini mengambil satu tarikan nafas lega karena telah dapat menemukan tumpangan pulang.

"Kula nuwun, Kang. Saged antarkan kula wangsul dhateng laladan toko mebel celak alun-alun?" tanya Kahiyang dengan sopan kepada salah seorang kusir.

(Permisi, Kang. Bisa antarkan aku pulang ke daerah deretan toko mebel dekat alun-alun?)

"Oh nggih nggih. Silahkan masuk," sapa sang kusir memperilahkan Kahiyang masuk.

Setelah masuk ke dalam andong, Kahiyang pun pergi meninggalkan daerah Embong Gede dan mulai melakukan perjalanan pulangnya menggunakan andong lain selain andong milik Kang Darto. Tangan Kahiyang dengan cepat membuka jendela belakang andong untuk sirkulasi udara sekaligus pendingin alami bagi tubuhnya yang sedikit kelelahan.

Setelah kepergian andong milik Kahiyang, tampak dari kejauhan, di dalam sebuah pedati, seorang lelaki berjas coklat tua tengah memperhatikan andong yang Kahiyang naiki dari sela-sela jendela yang terbuka sedikit. Lelaki itu seakan dapat menarik nafas lega setelah melihat kalau setidaknya Kahiyang telah mendapatkan tumpangan pulang dan kekhawatirannya sedikit berkurang. Kemudian jemari panjang lelaki itu menutup jendela yang sedikit terbuka itu dan menyuruh kusir pedatinya untuk pergi.

.oo0oo.

"Jadi?" tanya Bhanurasmi menaikkan sebelah alisnya tinggi.

"Aku boleh ya pakai andong Kang Darto lagi? Simbok sewa saja dia untuk seharian penuh, paling hanya berbeda satu atau dua gulden," ucap Kahiyang memohon pada ibunya agar dibolehkan menyewa andong selama sehari penuh.

Bukan apa-apa Kahiyang memohon seperti ini, agaknya sudah hampir sebulan penuh dirinya telah berjalan dari sekolah hingga perempatan Embong Gede setiap hari jika ingin pulang demi menghindari pengutitnya yang bahkan dirinya tak kenal. Semua berjalan baik-baik saja, Kahiyang juga tak pernah mengeluh akan dirinya yang berjalan jauh dari sekolah sampai ke Embong Gede hanya untuk mencari andong. Sampai kemarin lusa kakinya sedikit terkilir akibat kelelahan berjalan, hal itu yang kini membuatnya memohon pada sang ibunda untuk membiarkannya menyewa andong salama sehari penuh demi keamanan kakinya sementara.

"Tidak, simbok masih khawatir dengan keadaanmu sekarang. Tolong mengertilah."

"Kalau sebegitu khawatirnya, tolong biarkan aku menyewa andong sendiri. Kakiku belum sembuh pulih, Mbok," pinta Kahiyang memelaskan suaranya.

"Kamu ini, terkilir sedikit sudah uring-uringan seperti tulangmu patah saja," jengah Bhanurasmi dengan rengekan anaknya satu ini.

"Nanti kalau benar patah bagaimana? Kan sedang terkilir, bagaimana jika terjatuh lalu patah tulang karena tak seimbang?"

Bhanurasmi terdiam. Kata-kata Kahiyang barusan ada benarnya juga. Bagaimana jika anak pertamanya ini terjatuh karena kakinya yang belum sembuh sempurna dan malah memperburuk keadaan. Ibu paruh baya itu menggelengkan kepalanya kencang. Mencoba menghalau pikiran-pikran buruknya akan nasib sang anak. Pamali, takut nanti pikiran jeleknya itu bisa saja terjadi.

"Baiklah."

Kahiyang melompat kegirangan tatkala mendengar sang ibu mengucapkan satu kata persetujuan. Namun sedetik kemudian dia terdiam kikuk karena kebohongannya baru saja terbongkar. Orang terkilir mana yang bisa melompat penuh semangat seperti dirinya barusan?

"Eh, aduh sakit," keluh Kahiyang dibuat-buat sambil memegangi kaki kanannya.

Bhanurasmi tertawa kecil melihat kelakuan anaknya yang bisa saja mengambil hatinya. Kahiyang memang banyak tingkah, dan tingkah-tingkah kecil ketiga anaknya inilah yang menjadi penyemangat hari-harinya.

"Simbok ndak membatalkan perkataan barusan kan?" tanya Kahiyang takut jika ibunya menarik perkataannya kembali karena kebohongannya barusan.

Wanita itu menghela nafas dalam. "Ndak, simbok ndak batalin. Tapi lain kali, kalau mau berkilah, jangan aneh-aneh, ketahuan kan?"

"Terima kasih, Simbokku yang paling ayu sedunia!" puji Kahiyang manja.

Ibu dan anak ini seketika membuncah penuh tertawa. Kahiyang menutupi wajahnya dengan rambut panjangnya yang tergerai, malu karena dia gagal membohongi ibunya kalau kaki kanannya masih terkilir. Sedangkan Bhanurasmi, dia hanya tergelak sembari mengusap kepala Kahiyang pelan.

.oo0oo.

Kahiyang tersenyum girang. Hari ini dia mendapat nilai yang sempurna dalam mata pelajaran matematika. Bukan hal besar memang jika seorang Roro Kahiyang Ayu mendapat nilai bagus dalam pelajaran kesukaannya itu. Tapi dia selalu senang bila nilainya sudah dapat diatas rata-rata, apalagi jika melambung tinggi, Kahiyang senang dang bersyukur akan hal itu.

Siang hari ini tidaklah seterik biasanya. Awan-awan menutupi galaknya matahari. Kahiyang menatap ke atas kepalanya, memandang hamparan langit biru yang tampak sangat cantik siang itu. Mengakui karya Tuhan yang selalu dapat dia sanjung. Gadis ini berjalan keluar dari area sekolah, teman-temannya sudah pergi terlebih dahulu karena dirinya harus membantu gurunya untuk membawa buku ke dalam ruang guru.

Kaki Kahiyang berjalan tenang, merasa bebas karena hari ini dirinya tak perlu berjalan jauh hingga ke perempatan Embong Gede hanya untuk mencari andong. Sebab Kang Darto telah ibunya sewa selama sehari untuk mengatar dab menjemput dirinya dari sekolah.

Langkah gadis ini tersendat. Tak dapat berjalan karena sedikit dibuat bingung oleh pemandangan di depannya. Kedua alisnya menyatu di dahi, menandakan kalau ada banyak tanda tanya yang berkeliaran bebas di otak Kahiyang saat ini. Kepala gadis ini sedikit miring ke kanan, mencoba mengingat sesuatu, tanganya dia lipat ke depan dengan rapih. Bagaimana tidak bingung, Kahiyang saat ini melihat sorang pria tinggi berjas hitam tengah berdiri di depan andong milik Kang Darto, bukannya andong itu sudah dirinya sewa? Lalu, siapa pria itu?
.
.
.
Berlanjut....

𝐒𝐮𝐫𝐚𝐭 𝐔𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐊𝐚𝐡𝐢𝐲𝐚𝐧𝐠Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang