19. Sapu Tangan

366 60 7
                                    

Dua bulir air mata yang tadinya terbendung kini telah luruh, membasahi pipi Kahiyang yang kemerahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua bulir air mata yang tadinya terbendung kini telah luruh, membasahi pipi Kahiyang yang kemerahan. Keadaan Agniasari juga tak kalah menyedihkan, malah gadis itu telah menangis sesenggukan sedari tadi mereka sampai di stasiun. Candra tersenyum kecil melihat saudari-saudarinya yang tengah terisak mengantarkan kepergiannya ke Jakarta. Dengan cekatan dia segera memeluk kedua gadis yang sangat ia sayangi ini.

"Aku tidak mati lho, Mbak, Agni, berhentilah menangis," bisik Candra pada telinga kedua gadis muda Bhanurasmi.

Menanggapi itu Kahiyang yang masih memeluk Candra, segera mencubit pinggang pria itu, sedangkan Agniasari justru semakin gencar menangisi kakak lelakinya. Hal ini tentu membuat Candra meringis kening bingung, bagaimana cara menenangkan kakak dan adik perempuannya tanpa harus bersusah payah dan menarik perhatian banyak orang?

"Berani bersumpah kalau wajah kalian terlihat kusut seperti lap kotor sekarang, kumohon berhentilah menangis," desis Candra memohon pada keduanya.

Kahiyang terkekeh mendengarnya, tak habis pikir, sampai sekarang pun adiknya satu itu masih menyebalkan. Kahiyang melepaskan pelukan Candra, begitu juga Agniasari. Tak lama, Candra mengeluarkan dua sapu tangan putih dari dalam saku kemejanya, seakan telah memprediksi tangisan mereka, dan dengan perlahan Candra mendekati Agniasari.

"Agni, kamu mulai sekarang kalau pulang sekolah langsung pulang ya, bantu simbok, atau kalau ingin bermain, main dengan hati-hati ya, karena aku tak lagi akan bermain bersamamu sepulang sekolah. Tak akan ada aku yang bisa menggendongmu kalau kamu jatuh, makanya hati-hati ya!" ujar Candra panjang sembari mengusap air mata adiknya, Agniasari. Keduanya lalu kembali berpelukan singkat dengan kondisi Agniasari yang masih sedikit terisak.

Candra kemudian berjalan mendekati Kahiyang, pria itu tersenyum penuh makna, cenderung mengejek. "Nah, Mbak Kahiyang, kamu jangan menyusahkan simbok lagi ya, dia sudah tua, Mbak yang harus mengalah. Aku tahu, kita sering bertengkar, tapi itu benar bukti kalau aku sayang Mbak Kahiyang." Candra mengusap pipi kakaknya yang basah. "Plus, aku ndak bohong, Mbak benar-benar terlihat jelek kalau menangis," lanjutnya yang segera disusul oleh cubitan Kahiyang pada lengannya.

"Tak kusangka kamu sudah besar," ejek Kahiyang.

"Ya Gusti, kita hanya berbeda 3 tahun lho, berhenti menganggapku bocah," decak Candra kesal.

"3 tahun terakhirku yang bahagia, sebelum ada kamu," balas Kahiyang menjulurkan lidahnya. "Aku akan sangat merindukanmu, Candra. Sering-sering berkirim surat, ya!" sambung Kahiyang sembari menepuk bahu adik lelakinya.

"Tenang saja, nanti aku kirim fotoku setinggi satu meter, yang akan dibingkai rapih dengan bingkai bercat emas, supaya Mbak ndak rindu aku." Candra menaikkan alisnya usil.

"Untuk penangkal tikus sih iya, bukan untuk pereda rindu." Kahiyang memutar bola matanya malas.

"Mbak ndak perlu khawatir, nanti kalau aku sudah disana, aku bisa mengirimimu teh bunga kamomil, kesukaanmu."

𝐒𝐮𝐫𝐚𝐭 𝐔𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐊𝐚𝐡𝐢𝐲𝐚𝐧𝐠Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang