12. Layangan Kebahagiaan

738 153 11
                                    

Matahari Minggu pagi itu tidak seterik biasanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Matahari Minggu pagi itu tidak seterik biasanya. Cuaca hangat semilir angin yang membuat suasana menjadi semakin sejuk. Kahiyang dan kedua adiknya saat ini tengah berjemur pagi, membiarkan temaramnya matahari menyinari mereka. Bhanurasmi menyuruh mereka semua mencari udara segar di pekarangan rumah yang terbentang rumput hijau, dia juga berkata ini adalah waktu yang tepat untuk mereka bertiga kembali akrab dan saling memaafkan.

Dua hari berlalu setelah malam sidak Kahiyang. Semua telah berjalan seperti biasa, hanya saja Kahiyang sekarang kembali tidak diperbolehkan oleh ibunya untuk keluar jauh dari rumah. Kalau boleh jujur Bhanurasmi juga tidak ingin melakukan hal ini, dia sedikit merasa bersalah mengurung anaknya sendiri di dalam rumah. Namun apa daya, dia tidak ingin anak perempuannya itu terkena masalah jika dia terus terlibat dengan pria Belanda yang bernama Jean.

Kahiyang membentangkan sebuah kain untuk tempat mereka duduk nanti. Sedangkan Agniasari membawa satu keranjang kecil berisi kue-kue dan beberapa camilan kecil lainnya. Saat tengah merapihkan kain, Kahiyang melirik adik lelakinya, Candra, yang masih berjalan berlalu-lalang di dalam rumah. Entah apa yanh dia lakukan disana dan bukannya bergabung bersama Agniasari dan Kahiyang.

"Agni, apa Candra masih marah denganku?" bisik Kahiyang menyenggol siku Agniasari sembari masih menatap jauh ke arah Candra.

Agniasari mengendikkan bahunya, "Aku ndak tahu, Mbak. Sudah dua hari dia diam saja, bahkan dia tak mau dekat-dekat denganku, dia bilang aku adalah sekutu Mbak Kahiyang."

Kahiyang meringis mendengar hal itu. Dari sini saja sudah tertebak semarah apa Candra dengan dirinya. Tak perlu ditanya lagi seberapa juteknya lelaki itu pada Kahiyang, Candra bahkan tidak mau berada di ruangan yang sama dengan kakaknya satu ini.

"Huh, jahat!" decak Kahiyang kesal mengerucutkan bibirnya.

Kain telah terbentang sempurna, dengan cepat Kahiyang segera merebahkan seluruh tubuhnya ke tanah. Perempuan itu menarik nafas dalam, dia suka suasana pagi, burung yang berkicau, matahari yang tidak menusuk, apalagi dengan angin yang silir-semilir, itu sudah menjadi ketenangan tersendiri bagi Kahiyang. Suasana pagi yang damai memang yang terbaik, karena Kahiyang dapat merehatkan tubuhnya dari masalah yang beruntun datang ke hidupnya.

Kahiyang melirik adiknya Agniasari yang tengah menata biskuit di dalam keranjang. Pikiran gadis ini kembali terbawa kala sidang kemarin lusa. Pertanyaan yang ingin dia tanyakan juga kembali muncul, pertanyaan seperti, kenapa Agniasari tidak memberitahu ibunya tentang surat-surat yang Jean kirim? Mengapa Agniasari tetap bungkam?

"Agni, bolehkah aku bertanya sesuatu?"

Gadis itu menoleh, menatap Kahiyang penuh keheranan. "Tentu saja boleh, ada apa?"

"Anu- saat aku disidang kemarin, kenapa kamu ndak mengadu pada simbok kalau Jean mengirimiku surat?"

"Karena aku sayang Mbak Kahiyang." Agniasari menaruh keranjang dari pangkuannya ke tanah. "Aku ndak ingin Mbak mendapat hukuman yang lebih berat dari simbok," lanjutnya.

𝐒𝐮𝐫𝐚𝐭 𝐔𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐊𝐚𝐡𝐢𝐲𝐚𝐧𝐠Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang