Kedua matanya mengedip cepat, dengan bola mata yang melirik ke arah langit-langit kamar. Tak lupa dengan tangan kiri menyilang, dan tangan kanan yang berada didagu. Candra, rupanya pria itu tengah tertegun dengan satu buah koper besar di hadapannya, berusaha untuk mengingat sesuatu yang hilang. Lelaki muda itu bangkit dari posisinya yang berlutut, sepersekian detik berdiri memandangi koper setengah penuh itu, kemudian berjalan-jalan mengitari kamarnya.
Candra mengerutkan kening, kini kedua tangannya saling menyilang sempurna, lengkap dengan bibir tipisnya yang ia gigit pelan. Sepuluh menit lalu dia baru saja diancam oleh Bhanurasmi, ibunya, jika pria ini bertanya satu hal lagi mengenai barang hilangnya yang akan ia kemas untuk belajar ke Jakarta, Bhanurasmi tak akan segan untuk memotong uang sakunya. Candra tak dapat mengerti, mengapa ibunya sampai mengancamnya seperti itu, padahal menurutnya, ia tidak separah apa yang perempuan paruh baya itu pikirkan. Walau kalau boleh jujur, dirinya memang akan bertanya tentang sesuatu setiap lima menit, tapi itu tidak parah bukan?
Memutar otak, Candra berusaha untuk membungkam mulutnya supaya tak bertanya keberadaan ini-itu, namun juga berusaha untuk menemukan benda-benda hilang tersebut. Setelah pusing memutari kamar, setiba saja cahaya lampu ide muncul dikepala Candra. Bagaimana jika ia meminta bantuan kakak atau adiknya saja? Lagipula keduanya kini pasti tengah menganggur. Perlahan, Candra mengendap-endap menuju kamar kakak dan adiknya, berusaha supaya kehadirannya disana tidak diketahui Bhanurasmi.
Pria ini mengetuk pintu tiga kali, tentu saja dengan sepelan mungkin. Tak lama pintu terbuka sedikit, menampilkan Agniasari yang baru saja hendak keluar kamar, tepat ketika Agniasari membuka pintu, Candra meringsek masuk tanpa aba-aba dan tentu saja tanpa izin sang empunya kamar.
"Aduh sakit! Mas kenapa sih memaksa masuk begitu? Kakiku jadi kena pintu tau!" omel Agniasari setelah Candra sukses menginvasi kamarnya.
Candra meringis tak enak hati, "Maaf ya, Agni, aku tak berniat menyakitimu." Adik kecilnya itu hanya dapat mendengus kesal
"Memangnya ada apa sih?"
"Aku butuh bantuanmu-"
Agniasari seketika memutar matanya malas, belum sempat Candra menyelesaikan kata-katanya, ia sudah tahu kalau kakak lelakinya itu pasti menginginkan sesuatu, tak peduli apapun itu, yang pasti Agniasari mengerti kalau apa yang Candra minta pasti menyebalkan. Wanita itu segera menjauh dari Candra dan duduk di atas kasurnya, tak lupa dengan menyilangkan tangan di depan dada, sebuah gestur deklarasi penolakan tanpa harus mengucap satu patah kata.
"Ayolah, Agni! Kumohon bantu aku satu kali ini saja, ya?" Candra mengikuti adiknya duduk di atas ranjang.
"Ndak dulu, kamu kan kalau minta tolong pasti aneh, kalau nggak aneh pasti ngeselin!" tolak Agniasari tegas.
"Aku akan belikan kamu es potong, bagaimana? Kumohon bantu kangmasmu ini," pinta Candra menggoyangkan bahu adiknya.
"Pendusta, kemarin bilang mau membelikan aku cendil tapi kamu bohong!"
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐮𝐫𝐚𝐭 𝐔𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐊𝐚𝐡𝐢𝐲𝐚𝐧𝐠
Historical Fiction[Terinspirasi dari kisah nyata. Beberapa kejadian bedasarkan pengalaman yang sebenarnya] ~°~° Suatu siang, selepas pulang sekolah rakyat, Kahiyang yang polos dan periang dikejutkan dengan temuan secarik surat tanpa pengirim dalam andong yang orangtu...