16. Alun-Alun Ulang Tahun

415 74 24
                                    

"Ayo ulurkan tanganmu," bisik Jatra pada Kahiyang yang tengah melirik ke kanan dan ke kiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ayo ulurkan tanganmu," bisik Jatra pada Kahiyang yang tengah melirik ke kanan dan ke kiri. Tubuh gadis ini bertumpu pada kusen jendela kamarnya. Sore tadi, keduanya telah menyusun rencana untuk pergi ke alun-alun kota malam ini.

"Apa Mas Jatra yakin, kalau ndak ada simbok atau pembantu lain?" tanya Kahiyang tak dapat menyembunyikan kegelisahannya. Tengah malam ini adalah ulang tahunnya yang ke-17. Jatra mengajaknya untuk pergi ke alun-alun kota yang secara kebetulan tengah melangsungkan pasar malam merayakan pekan panen. Pria itu ingin Kahiyang merayakan hari kelahirannya dengan sesuatu yang mengesankan, tidak dengan kesedihan terkurung di kamarnya.

"Iya Kangmas yakin, ayo turun! Tapi pelan-pelan nanti kamu jatuh."

"Tidak jadi ah, Hiyang takut. Nanti kalau jatuh, kaki Hiyang bisa bengkok!" tolak Kahiyang dan sedikit memundurkan badannya dari jendela, rasa takutnya menang.

Jatra menahan tawanya setelah mendengar Kahiyang mengatakan itu, tak pernah dirinya mendengar sesorang menjadi bengkok setelah jatuh. "Tidak akan jatuh! Nanti Hiyang akan Mas tangkap kalau jatuh, jadi kakimu tidak akan bengkok."

"Ah, tidak deh! Hiyang baru berbaikan dengan simbok, nanti kalau simbok marah lagi bagaimana?"

"Tenang saja, kalau itu benar terjadi, Mas akan bilang kalau itu semua salah Mas."

Kahiyang menggeleng kuat. Pegal hati ia tidak ingin membuat simboknya marah lagi, tapi dirinya juga tak ingin menghabiskan malam ulang tahunnya murung terkurung. Tak pernah ia merasakan hari jadinya dalam peluk kekang sendu, dan hal itu cukup membuat Kahiyang bimbang.

"Mas janji kita tak akan lama, kita akan kembali sebelum pukul 1 nanti," bujuk Jatra tak menyerah.

Gadis ini menghela nafasnya dalam, "Kalau Hiyang jatuh dan kakinya bengkok, itu semua salah Mas Jatra ya!" bisiknya kesal dan segera melompat dari jendela kamarnya.

.oo0oo.

Langit malam itu pekat, tak banyak awan yang menyelimuti. Rembulan bersinar terang, seakan ikut merayakan hiruk pikuk pesta panen kala itu. Sayup-sayup cahaya lampu pasar malam terlihat dari jauh, seakan memberi kiasan akan suka cita. Mata Kahiyang berbinar, tak sabar untuk melihat keramaian pasar di malam ulang tahunnya ini.

"Ayo, Mas! Cepatlah!" gelak Kahiyang semangat sembari berlari kecil.

Jatra menggeleng pelan, tak percaya kalau beberapa saat lalu Kahiyang yang tidak ingin pergi, kini malah sangat berseri-seri bertabrakan dengan apa yang tadinya ia mau. "Sabarlah sedikit, apa kamu ndak ingat, kalau jatuh, kakinya bisa bengkok lho," balas Jatra menakut-nakuti adik sepupunya.

Kahiyang menjulurkan lidahnya usil, sebagai aksi membangkang. Keduanya jalan beriringan, sesekali Kahiyang mendahuluinya dengan berlarian kecil kesana dan kemari. Alun-alun kota malam itu ramai, riuh rendah kawanan manusia sibuk dengan dirinya masing-masing. Jatra tak kuasa menahan tawa kecilnya saat melihat Kahiyang yang penuh energi berpindah kesana dan kesini, siapa sangka kalau seorang gadis kalem dapat segirang ini jika malam menjelang?

Keduanya berjalan mendekati salah satu pedagang gulali yang tengah menjajakan dagangannya. Mata Kahiyang kembali berbinar tatkala melihat kecantikan serabut gula kasar yang tertata rapih diantara simping. "Mas! Hiyang mau ini boleh ya?" tanya gadis itu dengan semangat.

Jatra tersenyum pahit. Makan gula malam-malam bukanlah pilihan terbaik, namun dirinya tak kuasa jika menolak keinginan sepupu yang sudah dia anggap sebagai adik kecilnya ini, apalagi di hari ulang tahunnya. Dengan terpaksa akhirnya Jatra mengangguk lemah dan mengiyakan keinginan Kahiyang. Menanggapi hal itu, gadis remaja ini pun melompat-lompat kecil bahagia, bagaimana tidak, gulali adalah salah satu makanan kesukaannya.

"Jangan banyak-banyak, dua saja cukup,"  timpal Jatra mewanti-wanti, yang langsung disanggupi dengan anggukan oleh Kahiyang.

"Terima kasih, Pak," ucap gadis ini cepat mengambil gulali dari tangan sang penjual.

Setelah membayar, keduanya kembali berjalan santai melihat-lihat, apa yang kira-kira mereka dapat nikmati malam ini. Masih sambil mengunyah gulali dimulutnya, mata Kahiyang membelak tak percaya saat melihat satu buah layar tancap terpasang tak jauh dari tempat mereka saat ini. Dengan peka Jatra menyenggol lengan Kahiyang yang terdiam penuh rasa terkejut.

"Mau nonton itu?" tanyanya pelan disertai senyuman manis.

Dengan perlahan pandangan Kahiyang bergerak menuju kakak sepupunya. Tetap dengan mulutnya yang penuh gulali, gadis ini mengangguk kuat. "Mawu Hiyangh mawu nonton!" serunya dengan segera.

Jatra tertawa melihat Kahiyang yang berbicara dengan mulut penuh. "Hah? Hiyang bilang apa? Mas ndak dengar, lagi aneh sekali masa bicara dengan mulut penuh," ejek Jatra pura-pura tak mengerti.

Kahiyang yang kesal menepuk pelan lengan Jatra. "Huh menyebalkan!" balasnya setelah menelan gulali barusan.

"Jadi mau ndak?" ejek Jatra menaikkan alisnya pada Kahiyang yang tengah merajuk kesal.

Sesegera mungkin Kahiyang berpaling kembali pada Jatra dan mengeluarkan jurus memohonnya. "Mauuu hehe."

"Boleh," ucap Jatra. "Tapi ada syaratnya," lanjut pria itu.

"Apa syaratnya, Mas?"

"Masih rahasia tapi syaratnya," ucap Jatra lagi.

"Ih, aneh. Kalau tidak jelas mending ndak usah pakai syarat-syarat begini, Mas!"

Jatra hanya menanggapinya dengan menggeleng penuh senyuman. "Hiyang mau beli gulalinya lagi dulu tapi sebelum mulai, Mas duluan saja mengantri tiket, nanti Hiyang menyusul."

"Ah, kebetulan Mas juga ingin ke kamar kecil terlebih dahulu, kita nanti bertemu di depan sana saja ya?" Jatra menunjuk loket pembelian tiket layar tancap. "Tapi Hiyang ndak apa kan kalau mas tinggal sebentar?" lanjut pria itu memastikan.

"Ya Gusti, tentu saja tak apa, lagipula penjual gulali hanya disitu, tempat tadi!" balas Kahiyang meyakinkan.

Keduanya berpisah untuk sementara. Jatra pergi menuju kamar kecil, sedangkan Kahiyang kembali mencari pedagang gulali yang ternyata sudah berpindah tempat menuju ke ujung alun-alun. Di ujung alun-alun terdapat jejeran ruko-ruko yang telah tutup ketika malam tiba. Dan disanalah tukang gulali itu berpindah. Dengan berlari kecil, Kahiyang berjalan, namun tepat sebelum ia sampai ke hadapan bapak penjual gulali itu, tubuh Kahiyang tertarik ke belakang, atau lebih tepatnya ditarik oleh seseorang.

Tarikkan itu tak kuat, tapi cukup kuat untuk membuat Kahiyang berpindah tempat. Dari yang sebelumnya ada di luar daerah jejeran ruko, hingga posisinya sekarang yang tengah berada di lorong jejeran ruko tersebut.

Tangan Kahiyang gemetar, keringat mengucur tak henti-hentinya dari kening gadis ini, degupan jantungnya membuncah dengan mata yang masih terpejam kuat, tak ingin membuka mata untuk melihat siapa yang tengah menculiknya sekarang. Nafas Kahiyang masih tersendat dengan satu buah tangan besar yang sedang membungkam mulutnya dari belakang.

.
.
.

Berlanjut ....

HAPPY EID ADHA untuk yang merayakan!!! Sebelumnya hi dan halo pembaca setia Kahiyang yang saya nggak tau masih ada disini atau tidak 😭

Saya nggak tau juga harus bilang apa kecuali maaf sebanyak-banyaknya. Dan don't worry gais, besok saya update lagi kok buat cerita ini, dan insyaAllah bakalan terus update, soalnya saya lagi liburan semester hehew. Lofff u semwa 🤍🤍🤍🤍

𝐒𝐮𝐫𝐚𝐭 𝐔𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐊𝐚𝐡𝐢𝐲𝐚𝐧𝐠Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang