17. Remang Kalung

474 79 19
                                    

Tangan Kahiyang gemetar, keringat mengucur tak henti-hentinya dari kening gadis ini, degupan jantungnya membuncah dengan mata yang masih terpejam kuat, tak ingin membuka mata untuk melihat siapa yang tengah menculiknya sekarang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tangan Kahiyang gemetar, keringat mengucur tak henti-hentinya dari kening gadis ini, degupan jantungnya membuncah dengan mata yang masih terpejam kuat, tak ingin membuka mata untuk melihat siapa yang tengah menculiknya sekarang. Nafas Kahiyang masih tersendat dengan satu buah tangan besar yang sedang membungkam mulutnya dari belakang.

Keduanya berhimpitan, dengan Kahiyang yang berada di depan dan orang itu tepat berdiri di belakangnya, bersandar pada dinding. Kahiyang dapat merasakan dengan jelas hawa hangat yang memancar dari tubuh orang yang menculiknya ini. Kaki Kahiyang terasa sangat lemas, tak bertenaga, seharusnya dia mendengarkan saja apa yang Jatra bilang, jangan pergi jauh dari jangkauan pria itu , dan kini gadis ini menerima karma yang telah ia tuai.

Orang itu melonggarkan tangannya, perlahan mulai melepaskan bungkaman mulut Kahiyang. Pelan-pelan namun pasti orang itu bergerak maju dan kini dia berada tepat di depan Kahiyang. Masih tak sanggup membuka mata, Kahiyang pasrah saja saat orang itu mendorong halus tubuhnya supaya menyentuh dinding. Seketika pikiran-pikran buruk menguar di kepala Kahiyang, apakah dia akan diperkosa oleh penculiknya sekarang? Dan nantinya dia akan diculik untuk dijadikan wanita pemuas di rumah bordil. Ataukah dia hanya akan dirampok lalu ditinggal begitu saja?

Sungguh demi Gusti Pangeran Kahiyang ingin pingsan saja rasanya, apalagi saat orang itu menyentuh pundaknya pelan. Orang itu menyenderkan punggung Kahiyang pada dinding tembok yang dingin. Jantung gadis ini hampir meledak ketika orang itu mulai kembali membungkam mulutnya dengan sebuah telapak tangan. Walau bukan bungkaman erat, Kahiyang tetap saja ketakutan saat orang itu menutup kembali mulutnya.

"Bukalah matamu, dan kumohon jangan berteriak," perintah orang itu sembari berbisik.

Kahiyang tak ingin mati malam ini, jadi tentu saja dia akan menuruti apa yang orang itu perintahkan padanya. Perlahan gadis ini mulai mencoba untuk membuka matanya. Pada awalnya ia tak dapat melihat dengan jelas karena pencahayaan lorong itu yang buruk, namun saat matanya dapat menyesuaikan cahaya. Seketika Kahiyang terbelak dengan bola mata yang melotot sempurna. Disana, di depan Kahiyang, berdiri Jean yang tengah menutup mulut Kahiyang dengan tangan besarnya yang hangat.

Jean segera memberi isyarat dengan jari telunjuk tangan kiri yang dia acungkan di depan bibir tipisnya, memberi tanda untuk Kahiyang untuk tidak menaikkan tinggi suaranya. Lalu secara lambat pria itu mulai melepaskan tangannya dari mulut Kahiyang.

"Meneer? Sedang apa Meneer disini?" tanya Kahiyang yang masih terperanjat akan kehadiran Jean, ditambah dengan dirinya yang seakan menculik Kahiyang membuat gadis ini semakin menaruh rasa penasaran akan bagaimana bisa pria ini berada disini, apakah dia mengikuti setiap langkahnya?

"Pertama, maafkan saya yang dengan tidak terhormat membungkam dan menyeretmu ke lorong ini," ucap pria jangkung itu dengan raut wajah yang terlihat menyesal.

"Permintaan maaf diterima. Meneer kenapa berada disini?" tanya Kahiyang lagi, tak ingin menyerah.

Pria itu menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Tangan Jean perlahan merogoh saku celana panjang hitamnya dan mengeluarkan satu buah kotak perhiasan kecil dari sana. Jean membuka kotak itu, dan terpampanglah satu buah kalung perak dengan bandul bunga lili dengan sebuah berlian kecil ditengahnya. Pria itu menyodorkan kotak kecil berisi kalung indah itu di hadapan Kahiyang.

𝐒𝐮𝐫𝐚𝐭 𝐔𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐊𝐚𝐡𝐢𝐲𝐚𝐧𝐠Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang