Sebulan berlalu kalut, waktu terasa merambat mencekik leher Bhanurasmi. Bak pepatah sudah jatuh tertimpa tangga, keluarganya kini mengalami musibah baru. Setelah Jean memutus tali bisnisnya, masalah demi masalah semakin berdatangan. Keluarga kecilnya memiliki dua bidang sawah yang terletak tak jauh dari pertokoan mebel. Peninggalan warisan kakek Kahiyang. Untungnya, kepemilikan tanah sawah tersebut tertera atas nama Bhanurasmi, bukan almarhum suaminya, dan tentu saja Jean tak dapat membeli tanah sawah itu tanpa persetujuan Bhanurasmi, tidak seperti yang ia lakukan pada tanah suaminya. Namun sialnya, sawah yang digadang-gadang menjadi tombak kehidupan terakhir mereka itu, baru saja gagal panen.
Bhanurasmi mendapat kabar itu dari seorang petani asing yang ia tak kenali. Petani itu mengaku, kalau ia adalah tetangga dari tukang yang Bhanurasmi pekerjakan untuk mengurus sawahnya. Kata sang petani asing, tukang yang Bhanurasmi pekerjakan jatuh sakit. Punggungnya linu dengan kaki kanan yang terkilir, karena ternyata, ia adalah satu-satunya tukang yang bekerja di dua petak sawah Bhanurasmi. Sebenarnya, Bhanurasmi tak sanggup hati menyewa satu orang untuk mengerjakan dua petak sawah sekaligus, namun apa boleh buat, uang tabungan keluarganya harus dia hemat. Dan tukang itu menyanggupi apa yang Bhanurasmi tawarkan, tapi lihatlah sekarang, tukang itu jatuh sakit, dan sawah Bhanurasmi gagal panen.
Kekecewaan jelas ada, akan tetapi, tidak baik berduka diatas kesedihan orang lain. Tidak etis baginya merasa kecewa saat ada orang yang terluka karenanya. Maka, setelah memberi upah dan uang pesangon kepada keluarga sang tukang itu, barulah Bhanurasmi dapat bersedih. Tiga malam sudah ia tak dapat tidur dengan nyenyak, entah terus terbangun dimalam buta, atau tak dapat terlelap sama sekali sampai pagi menjelang. Pikirannya penuh, berputar tiada ujung memikirkan masa depan ketiga anaknya. Jika ia tak memiliki pemasukan, tidak mungkin kedua anaknya di Jakarta bisa lanjut bersekolah. Walau, kakak lelakinya, Seto, telah menawarkan untuk membiayai pendidikan Agniasari dan Candra, namun Bhanurasmi menolak.
Bagaimana ia bisa membebani kakak lelakinya seperti itu? Seto adalah seorang dokter, uang yang ia miliki boleh jadi lebih banyak dari pendapatan biasa Bhanurasmi. Tapi dengan menyetujui itu, Bhanurasmi merasa kalau pendidikan kedua anaknya akan menyusahkan kakaknya. Dan pada akhirnya, semua ini akan berakhir dengan balas budi, Bhanurasmi benci balas budi. Meskipun Seto adalah kakak kandungnya sendiri, ego Bhanurasmi tidak serendah itu untuk harus dikasihani. Selagi masih bisa bertahan, ia tak akan meminta bantuan.
Untuk sekarang Bhanurasmi teguh pada pendirian, membiayai sekolah anak-anaknya dengan uang tabungan miliknya dan almarhum suami. Walaupun dirinya sendiri tidak yakin sampai kapan ia dapat berteguh pada keyakinannya. Pertanyaan kembali menggerogoti otaknya, apa yang akan mereka makan esok hari? Bagaimana ia dapat membiayai kedua anaknya di Jakarta? Apa yang ia harus lakukan pada masa depan Kahiyang? Haruskah ia menjual sawah miliknya? Bhanurasmi menggeleng kuat pada angan terakhir, dua bidang sawah itu adalah peninggalan almarhum bapaknya, tidak bisa begitu saja dijual demi membiayai kehidupan sehari-hari.
Kepala Bhanurasmi sakit, tiga hari tidak tidur dengan benar kini mulai menyerang tubuhnya. Sebelum ini ia selalu hidup dalam rasa tenang, tak pernah ia merasa tertekan dengan kondisi ekonomi keluarga. Pasang surut tentu saja ada, tapi Bhanurasmi bersumpah ia tak pernah merasa amat tidak berdaya seperti sekarang. Terasa seperti semua yang ia lakukan sia-sia, pada akhirnya Bhanurasmi selalu kalah, karena Jean adalah pria penuh kuasa yang dapat melakukan apa yang dia mau. Memerintah seenaknya tanpa tahu dampak apa yang bisa ia sebabkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐒𝐮𝐫𝐚𝐭 𝐔𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐊𝐚𝐡𝐢𝐲𝐚𝐧𝐠
Historical Fiction[Terinspirasi dari kisah nyata. Beberapa kejadian bedasarkan pengalaman yang sebenarnya] ~°~° Suatu siang, selepas pulang sekolah rakyat, Kahiyang yang polos dan periang dikejutkan dengan temuan secarik surat tanpa pengirim dalam andong yang orangtu...