13. Singgung Lesung

667 141 14
                                    

Ricuh, sahut-sahutan suara dua orang yang memekik lumayan kencang pasti akan membuat siapa saja yang mendengar merasa pengang dibuatnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ricuh, sahut-sahutan suara dua orang yang memekik lumayan kencang pasti akan membuat siapa saja yang mendengar merasa pengang dibuatnya. Suasana kediaman Bhanurasmi subuh itu tak terkendali. Candra dan Agniasari berlalu-lalang dengan gaduh. Candra tengah berjalan kesana kemari mencari sebuah topi coklat kesayangannya yang setiba saja hilang. Sedangkan Agniasari, gadis itu sibuk dengan masalahnya sendiri mencari pita ikatan untuk rambutnya yang telah rapih saat ini.

Tak ada henti-hentinya mereka menganggu ibunya Bhanurasmi dengan pertanyaan yang sama. Tentang dimana letak topi atau pita itu, tentang bagaimana mereka tak dapat menemukan barang yang mereka cari, atau cara terakhir yaitu menyalahkan satu sama lain akibat kecerobohan mereka sendiri. Suasana itu jelas membuat pening kepala Bhanurasmi ia menganggap semua anaknya telah dewasa dalam berfikir, memang mereka dewasa, tapi sepertinya tidak dalam hal mencari barang hilang.

"Terakhir kali kalian letakkan dimana memangnya?" tanya Bhanurasmi.

"Ada kok, Mbok. Kemarin di samping meja rias di kamar Mbak Kahiyang. Tapi sekarang hilang, pasti Mbak Kahiyang atau Mas Candra yang memindahkan pitaku."

"Enak saja! Untuk apa aku memindahkan pita milikmu, Agni. Aku kan, laki!" tegas Candra tak terima. "Lagi pula, bukannya kamu yang menyembunyikan topi milikku yang ada di kotak depan pintu?" lanjutnya.

"Ih untuk apa aku menyembunyikan topi milik Mas?"

"Nah maka dari itu, kembalikan sekarang."

"Sudah kubilang bukan ada padaku!"

"Dasar pembohong ulung," decak Candra menyilangkan tangannya.

"Aku tidak berbohong! Siapa yang Mas bilang pembohong?!"

"Memang kamu tukang bohong kok, kenapa? Mau mengelak?"

"Ih! Mas Candra, aku sudah bilang kalau aku--"

"Sudah, sudah!" Bhanurasmi berjalan diantara tengah-tengah argumen kedua anaknya, mencoba melerai pertikaian yang sangat tidak penting itu.

Agniasari melengos penuh rasa kesal. Sedangkan Candra diam-diam menahan tawa karena dapat menjahili Agniasari, karena tentu saja Candra mengetahui kalau Agniasari tidak menyembunyikan topi miliknya. Tapi Candra tetap menuduh adiknya satu itu demi kesenangan pribadinya. Kesempatan dalam kesempitan.

"Jika sudah dicari namun tidak ditemukan. Kenapa kalian tidak pakai apa saja yang ada? Seperti tidak ada barang lain saja."

"Tapi, Mbok--" Agniasari menggantungkan kalimatnya. "Baiklah, Mbok," lanjut gadis itu lagi menyetujui perkataan ibunya barusan.

"Pakailah apa yang ada saja dulu. Lagi pula, kalian hanya menjemput Pakde Seto, kan?"

"Iya sih Mbok, hanya menjemput Pakde Seto di stasiun, tapi kan aku harus tetap tampil cantik," balas Agniasari kecil.

"Betul itu, kita harus tetap terlihat rapih, apalagi pakde kan dari Jakarta, pasti dia bawa bingkisan dan oleh-oleh yang banyak untuk kita. Maka dari itu harus tetap menawan," sahut Candra mengambil satu topi hitam dari dalam laci.

𝐒𝐮𝐫𝐚𝐭 𝐔𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐊𝐚𝐡𝐢𝐲𝐚𝐧𝐠Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang