Ketika angin bertiup lembut, menerpa dedaunan kering menyapu jalan. Rintik-rintik air hujan membasahi bumi, menyamarkan isak tangis yang begitu menyedihkan. Gemuruh petir menyambar-nyambar, menggetarkan bumi seperti getaran pilu di dalam hati. Semua nampak kontras, dengan peliknya masalah hidup yang mengerikan.
Park Jimin, pemuda dengan baju kuning kebesaran terduduk merenung dibawah guyuran air hujan, wajahnya sendu, dengan binaran kosong mengerikan layaknya mayat hidup. Sudah kesekian kalinya ia harus berakhir menerima hukuman dari kepala panti asuhan, bertekuk lutut di tengah-tengah lapangan panti asuhan selama tujuh jam penuh. Sebenarnya ia tidak melakukan kesalahan, hanya saja para temannya usil untuk mempermainkan dirinya yang lemah.
Memang apa yang bisa ia harapkan? Teman saja tidak punya, apalagi sahabat yang mau membelanya dalam hal seperti ini. Sudah teramat bosan untuk tinggal ditempat tersebut, sayang sekali memilih pergi bukanlah hal bagus karena ia tidak memiliki tempat bernaung lagi selain panti kumuh itu. "Hukumanmu sudah selesai, cepat ganti bajumu yang basah itu dan segera temui ibu pemilik panti!" Jimin hanya melirik, ia berdiri dengan sedikit sempoyongan dan berlalu memasuki salah satu pintu tempatnya menghabiskan waktu.
Tak membutuhkan waktu lama untuk mengganti pakaian, ia melangkah tergesa menuju pintu besi yang tak jauh dari kamarnya. Di sana sosok wanita berkaca mata tebal telah menunggu, sambil memainkan bulpoin disela-sela jari. Wanita paruh baya itu menggapai beberapa amplop bewarna biru terang dan di lemparkan ke atas meja. "Surat untuk mu dari seseorang yang sama!"
Jimin tersenyum, menatap penuh binar amplop-amplop tersebut dan mengambilnya. Namun ia berhenti untuk memandangi amplop ditangannya, ia menatap sang wanita seraya berkata, "Anda tidak pernah memberitahu saya siapakah pengirim amplop-amplop ini, apakah dia orangtuaku?" Jimin menatap sang wanita penuh harap, berharap mendapatkan secuil saja clue tentang orangtua atau keluarganya.
"Jangan bertanya padaku bocah, dia bahkan tidak memberitahuku siapa dirinya, dan- aku tidak peduli, asalkan dia tetap membayarku dengan jutaan won!" harapan Jimin sirna, ia memilih meninggalkan ruangan wanita itu dan kembali ke dalam kamarnya. Sejauh ini, hanya surat dari amplop-amplop biru terang yang selalu ia dapatkan di akhir dan awal bulan yang dapat menghiburnya, membuatnya tersenyum, atau merasakan suatu kehangatan akan rasa perhatian. Ia sungguh mati penasaran, siapakah pengirim surat-surat itu, ia juga kesulitan untuk melacaknya, tidak ada nama jelas dan alamat si pengirim di amolop surat.
Bahkan dari ia pertama kali mendapatkan amplop-amplop itu tidak ada satu kalimat pun yang menuliskan nama si pengirim, hanya tiga huruf saja yang menjadi inisial si pengirim, sepertinya orang tersebut tidak ingin Jimin mengetahui namanya, wajahnya atau yang lainnya.
᳓Jimin~ah, apa kabarmu baik? Ku harap kau selalu mendapatkan kemudahan di sana, jangan takut untuk melawan jika ada yang mengganggumu! Oh~ Selamat untuk kelulusan mu dari SMP, aku senang mendengar bahwa kau mendapat penghargaan karena memiliki nilai kelulusan tertinggi. Sudah aku carikan brosur pendaftaran SMA seni favorit untukmu, kau bisa mengikuti seleksi beasiswa di sana. Sekaligus ada brosur audisi vokal di salah satu agensi yang berada dipusat kota, ku dengar dari pemilik panti kau sangat hebat saat menyanyi, jangan pendam bakatmu, tunjukkan pada dunia jika kau bisa menjadi bintang paling bersinar dilangit malam, dan di saat kau telah menjadi bintang yang paling bersinar, di saat itulah aku akan memelukmu!᳓ -DHK
Jimin tersenyum, hatinya kembali menghangat akan surat tersebut, "Apa kau ayahku? Atau ibuku? Kau selalu menyembunyikan siapa dirimu dariku DHK~ssi!" Jimin merebahkan diri diranjang keras kamarnya, remaja bermata kecoklatan itu menatap langit-langit kamar, membayangkan banyak hal tentang dirinya jika orangtuanya masih hidup dan ia dapat bertemu dengan mereka. "Suatu saat, aku akan mengetahui siapa dirimu DHK~ssi, karena aku akan terus mencarimu!" Jimin memerhatikan kembali dua brosur tersebut.
Tidak ada salahnya untuk mencoba bukan? Toh jika ia bisa masuk menjadi trainee di agensi itu, pasti dia bisa bebas dari panti menyebalkan ini. "Audisi ini hari kamis, masih ada jeda waktu empat hari untukku latihan!" Jimin bangkit dari tidurnya, ia menyambar gitar tua yang tergantung didekat lemari.
Jimin mendudukkan diri senyaman mungkin, memejamkan mata sejenak lalu jari-jarinya mulai memetik senar gitar. Ia menikmati setiap irama yang tercipta dari petikan senar, memecahkan kesunyian malam layaknya api yang memecahkan dinding es. Dengan tenang serta penuh penghayatan setiap kalimat keluar dari bilah bibirnya, alunannya sangat sendu, bagaikan mendatangkan mendung untuk menciptakan hujan.
Lelehan airmata tak terasa membasahi pipi, mengabaikan rasa sunyi untuk memunculkan gejolak hati yang terdalam. Semua bait syairnya tengah menceritakan kisah hidupnya yang pilu, merontokkan setiap ketegaran hingga terasa gemetar dan menyayat hati. Namun, ia tersenyum dalam nyanyiannya, mengakhiri lagu dengan lembut selembut kapas termahal yang pernah ada. Jimin mengusap airmatanya, menaruh kembali gitar pada tempat semula.
"Aku harus bisa masuk ke dalam agensi itu, jika nanti gagal, mungkin agensi lain bisa menerimaku! DHK~ssi berjanji akan menunjukkan diri jika aku bisa menjadi super star, dia pasti keluargaku kan? Dia selalu memberiku perhatian walau dari selembar surat!" Jimin menyambar amplop-amplop biru yang berisi surat-surat pemberian DHK, ia menyimpan surat tersebut di dalam wadah khusus yang telah ia sediakan semenjak ia terus mendapatkan surat dari DHK.
Jimin menyiapkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk pendaftaran audisi, bahkan ia harus memecah tabungan keramik yang telah lama ia kumpulkan untuk berangkat ke agensi, semuanya demi bisa mengikuti audisi, Jimin bisa menabung lagi jika ada kunjungan orang-orang baik yang mau sedekah pada anak yatim piatu seperti dirinya, jadi dia tidak terlalu khawatir akan uangnya yang akan ia gunakan.
"Jika saja aku tidak lolos audisi, apa aku bisa menjual laguku pada agensi itu? Pasti akan mendapat keuntungan besar jika mereka mau membeli laguku!" Jimin tersenyum-senyum. Pemuda itu mengambil sebuah buku tebal yang berada di meja dekatnya, itu adalah buku dengan penuh syair ciptaannya sejak awal masuk SMP. Walaupun usinyanya terlalu muda, gaya bahasa yang dia gunakan dalam syairnya sejak awal SMP menggunakan tatanan bahasa yang tinggi, seperti gaya bahasa para mahasiswa yang puitis.
"Aku juga akan membawa buku ini untuk berjaga-jaga jika saja mereka mau membeli laguku!" hari ini memang menyedihkan untuknya, tetapi di saat yang bersamaan kebahagiaan mendatangi dirinya melalui perantara surat dari DHK. Bahkan pemuda itu tidak dapat berhenti tersenyum sedari tadi, "Astaga~ apa aku menjadi gila karena terlalu semangat?" Jimin menepuk-nepuk pipi bulatnya beberapa kali.
"Apa aku harus bilang 'Astaga' untuk yang kedua kalinya? Bagaimana aku tidak sadar jika waktu sangat cepat terlewat? Sudah pukul sepuluh malam, akan gawat jika nanti aku telat bangun di pagi hari, pasti nyonya Hwasa akan menyuruhku lari lima puluh kali memutari lapangan!" Jimin berdecak, dia segera mematikan lampu dan tertidur dengan memeluk buku lagu miliknya.
◇◆◇◆◇◆◇◆◇◆◇◆◇◆◇◆◇◆◇
Hello everyone! This is Chi
Ini adalah cerita pertamaku, mohon maaf jika ada kesalahan penulisan atau bahasanya yang kurang menarik. Sudah lama sekali mau menulis ini, tetapi baru sekarang mendapat waktu luang untuk mempublish cerita Vmin ini. Dan disini author menulis cerita Vmin "Friendship" bukan BL ya. Author hanya akan menulis cerita dengan genre Friendship, Brotherhood, Family, dan Adventures.
Thanks buat kalian yang udah mau mampir!
March 21-2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonlight Sonata || Vmin || Friendship/Family √
Fanfiction[Story END] [Fiksi penggemar - Park Jimin] [Friendship, Family, Struggle] Jimin hanyalah anak panti asuhan yang tersisihkan, dirinya tidak pernah mengira dapat memasuki sebuah agensi musik sebagai calon seorang penyanyi. Ia tahu agensi itu hanyal...