Tap... Tap... Tap... Gemaan langkah kaki terdengar meramaikan koridor, Jimin berlari tergesa-gesa sampai beberapa kali tersandung kakinya sendiri. Anak itu sungguh takut akan keterlambatannya, apalagi bel mata pelajaran pertama berakhir sudah terdengar nyaring, kali ini pasti guru mata pelajaran jam kedua pasti sudah sampi kelas, sedangkan dirinya masih di koridor, di lantai dua pula, kelas Jimin ada di lantai tiga, otomatis anak itu harus naik satu tangga lagi.
Tetapi Jimin berhenti, menengok belakang lalu menjejakkan kaki berulang kali, dan anak itu berjongkok sambil mengusak kasar surainya, mukanya kusut, bibirnya manyun, dan decakan kesal terdengar keluar dari bilah bibirnya. Penyebab semua itu adalah sosok Yoongi yang berjalan santai dan malas, tertinggal jauh dari Jimin. Si pucat itu memandangi sekitar sambil bersiul, memasukkan telapak tangannya ke dalam sisi kanan dan kiri saku celana. "Hyeong, ayolah!" seru Jimin.
Yoongi tidak menanggapi, masih berjalan dengan santai, "Hyeong aku akan lebih telat!" Jimin mengeluh, menggigit bibirnya untuk menahan ingin menangis, "Ingat Jim, aku ini habis mengalami kecelakaan, jadi harus berjalan pelan-pelan!" jawab Yoongi dari jauh, "Yang sakit hanya tanganmu, bukan kakimu!" Jimin semakin ingin memaki pemuda itu dengan suara keras, mengingat ia dekat dengan kelas-kelas, dia urungkan niat untuk mengumpat. "Yang terlambat juga bukan aku Jim!"
Benar, Jimin diam setelah Yoongi menjawab seperti itu, dia juga tidak bisa membantah, karena keterlambatannya murni akibat keteledoran dirinya sendiri. Jimin menunduk, memandangi lantai marmer yang sedikit memantulkan wajahnya, terlihat sendu dan ingin menangis, apa seharusnya ia pulang saja, sekalian tidak masuk?
Jimin tersentak, ketika tangan kiri Yoongi menariknya untuk berdiri, menyeretnya menuju toilet dan memerintahkan Jimin membasuh wajah, "Jangan tunjukkan kelemahanmu! Atau musuhmu akan mudah menjatuhkanmu!" Jimin terdiam, tangannya memegangi pinggiran wastafel, ia mendongakkan wajah dan memerhatikan pantulan wajahnya di kaca besar toilet, ia juga melirik Yoongi di belakangnya yang menyenderkan diri di dinding.
"Tidak perlu menjadi terlalu sempurna dalam hidup, kau akan menjadi kolot dan monoton jika menuntut kesempurnaan. Tak perlu terlalu takut untuk telat, toh kau menyumbangkan banyak prestasi di sekolah ini, bersikaplah yang wajar seperti anak seusiamu!" Jimin mengusap wajahnya yang masih basah dengan tisu yang telah di sediakan di samping wastafel, lalu membalikkan badan untuk menghadap Yoongi.
"Ya aku mengerti!" jawab Jimin dengan singkat, Yoongi mengangguk-angguk lalu berjalan keluar mendahului Jimin, "Yoo Jimin, kau bilang tadi takut terlambat semakin lama!" Jimin akhirnya menyusul si pucat.
Dua jam dua puluh menit, waktu keterlambatan Jimin, mereka sampai di pintu kelas sambil dilirik kesal oleh sang guru karena mengganggu penjelasannya pada para siswa. Yoongi seperti merasa tak bersalah, dan tak takut kala sang guru menghampirinya.
Para siswa melirik Yoongi dengan lekat, berusaha mengenali karena Yoongi memakai masker sebelum sampai di kelas Jimin. "Ada apa?" si guru bertanya, lalu melirik Jimin yang terdiam di samping Yoongi, "Dan___ Jimin, aku tidak menoleransi keterlambatanmu!" Yoongi mendecih di balik maskernya, "Anda tidak bisa melakukan hal seperti itu sebelum mengetahui alasan jelas keterlambatan murid anda. Jadilah guru profesional!" Yoongi melirik name tag si guru, "Seol Ah-ssi!" si guru terdiam, mengerling pada Yoongi dengan pandangan ketidak sukaan.
"Dia tadi pingsan, tetapi memaksa untuk masuk sekolah saat sadar!" Jimin tersedak ludahnya sendiri. Hei alasan macam apa itu, "Tetapi aku tetap tidak mau menoleransi keterlambatan dia!"
"Ya, apa aku harus menyeretnya ke sini saat dia pingsan? Seperti pembunuh darah dingin yang menyeret mayat para korbannya!" si guru bergidik ngeri, ucapan Yoongi sungguh membuat bulu kuduk berdiri, ditambah ekspresi Yoongi yang sulit ditebak, binaran mata anak itu terlihat sangat dingin dan menusuk. "Dia memiliki semangat belajar tinggi, apa kau ingin membuang generasi emas?"
"Apa kau tidak takut saat ada pihak pelajar yang melaporkan sikapmu pada kepala sekolah?" Si guru nampak takut, ada selipan nada ancaman dalam lontaran setiap kalimat dari mulut Yoongi, "Baiklah, aku akan mempersilahkannya masuk!"
Seperginya Yoongi, Jimin bernafas lega karena bisa masuk kelas tanpa hukuman. Jimin mendengar beberapa anak berbisik mengenai sosok Yoongi, beberapa ungkapan menunjukkan rasa penasaran akan Yoongi, dan beberapa lainnya seperti tidak suka dan iri akan Jimin yang lolos dari hukuman. Di bangku pojok, Jaebum melambai-lambaikan tangannya dengan tersenyum senang mendapati kehadiran Jimin. Sedangkan di samping Jimin persis, Taehyung memandang dengan sengit.
Jimin abai, ia memalingkan diri dan menyimak penjelasan sang guru, mengunci rapat bibirnya agar tidak menunjukkan dirinya yang masih terkejut akan sekitarnya. Sekitar dua jam lebih pembelajaran berlangsung, Jimin sempat ingin tertidur saat mengerjakan tes dadakan dari gurunya, untung saja tidurnya terganggu karena mendapat lemparan gumpalan kertas dari Taehyung. Bukan kertas spesial, hanya kertas kusut biasa yang bertuliskan "Urusan kita belum selesai!"
Bel istirahat pertama terdengar nyaring, Jimin baru beranjak dari kursinya saat kelas benar-benar kosong, Jaebum pun sudah pergi, kebiasaan anak itu akan pergi persama teman satu desanya di kelas sebelah, jika tak salah, namanya Wang Ka-ye, dan Yi-en Tuan. Taehyung pun juga telah pergi, entah pergi ke mana, Jimin tidak pernah tahu tempat Taehyung mendekam selama istirahat, anak itu menghilang begitu saja seperti dalam film penyihir.
Sambil mendendangkan lagu, Jimin berjalan menuju lokernya, tak terlalu jauh dengan kelas, hanya melewati satu ruangan saja dan sampai. Dia hanya ingin mengambil buku catatannya saja untuk pelajaran selanjutnya, sudah lama ia meninggalkan buku itu di dalam loker, dan tak berniat membawanya ke asrama karena kamar yang di tempati sudah penuh barang.
Pergerakan tangannya terhenti, kala menemukan sebuah amplop abu-abu yang tertindih bukunya di dalam loker. Jimin mengambilnya, membolak-balikkan surat itu mencari keterangan si pengirim, namun kosong. Buru-buru Jimin menutup pintu loker, berlari menuju toilet dan membacanya tanpa ada gangguan dari orang lain.
"Kau tidak pantas hidup, Park Jimin! Semua orang menginginkanmu untuk mati!" tangan Jimin gemetar, surat itu sangat mengerikan untuknya, ini adalah surat ancaman perdana untuk Jimin. Ia meniti kembali surat itu, tetapi tidak ada nama siapapun yang tercantum, hanya kalimat gila itu saja. Jimin memasukkannya ke dalam saku celana, mengusap beberapa kali wajahnya dan mengubah ekspresi sebaik mungkin untuk terlihat biasa saja.
Jimin menjadi lebih pendiam setelah keluar dari toilet itu, lalu kembali ke kelas dan mendapati Jaebum yang berlari menghampirinya, "Jim, lihatlah~ aku mendapat banyak makanan dari kelas Yi-en!" Jaebum memperlihatkan sekantung jajanan. Menarik tangan Jimin dan mulai membagi jajanan itu. Namun Jaebum menyadari gelagat Jimin, terlihat gugup dan linglung. "Jim, kau baik-baik saja?" Jimin mengangguk.
"Aku hanya sedikit pening!" Jaebum mengangguk-angguk, ia berfikir mungkin efek dari sehabis pingsan, bukankah orang bermasker hitam mengatakan Jimin pingsan hingga telat masuk sekolah. "Omong-omong, Jim, di mana kau semalaman? Aku sama sekali tidak melihatmu kembali ke kamar kita!" Jimin tersenyum lemah, "Ke tempat seseorang!"
"Siapa itu?" Jimin hanya melirik sekilas pada Jaebum, "Seseorang yang baru dalam hidupku!" Jaebum tak melanjutkan pertanyaannya, memilih menggigit bolu instan dan menyodorkannya pula pada Jimin.
◇◆◇◆◇◆◇◆◇◆◇◆◇◆◇◆◇◆◇
Hei~
I'm back! Thanks for read my story guys, could you gimme any comment about this story? Are the plot make you feel bored? Just write your criticism and your suggestion!Don't forget for vote this and also follow my account guys!
April 03-2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Moonlight Sonata || Vmin || Friendship/Family √
Fanfiction[Story END] [Fiksi penggemar - Park Jimin] [Friendship, Family, Struggle] Jimin hanyalah anak panti asuhan yang tersisihkan, dirinya tidak pernah mengira dapat memasuki sebuah agensi musik sebagai calon seorang penyanyi. Ia tahu agensi itu hanyal...