-Twenty Seven-

926 136 37
                                    

Happy reading zheyeng❤️
.
.
.

"Athanasia, udah denger kabarnya belum?"

Jennette yang berjalan di sisi Athanasia bertanya sembari memiringkan kepalanya untuk bisa bertatapan dengan gadis bersurai keemasan itu.

"Kabar apaan?" Athanasia menjawabnya dengan pertanyaan acuh tak acuh.

Jari telunjuk tangan kanannya fokus menggali lubang emas yang ada di hidungnya.

Jennette menghela napas lelah. Tersirat kesedihan di wajah manisnya.

"Aku lihat berita, semalam daerah selatan Obelia gempa bumi. Itu gak jauh dari sini, getarannya pun terasa sampai rumahku. Banyak korban yang harus mengungsi."

Athanasia menghentikan gerakan tangannya dan menatap Jennette. "Hah? Masa sih?"

"Iya, sampai 5,3 skala richter. Ukh.. bangunan pada runtuh dan korban jiwanya tidak sedikit."

Tidak terbayang betapa sedihnya begitu mendapat kabar seperti itu. Terlebih rekamannya yang tersebar di sosial media, di mana nampak bangunan yang perlahan runtuh dan menimpa sejumlah besar manusia.

Jennette menunduk sendu. Meskipun dirinya bukan salah satu korban tetapi batinnya terasa sesak setelah mendengar berita itu. Dirinya hanya bisa berdoa yang terbaik untuk para korban yang meninggal dan yang selamat.

Entah mengapa Athanasia yang sedari tadi diam memiliki firasat buruk di masa depan.

---

Bel berbunyi dan murid-murid masuk ke dalam ruang kelas masing-masing. Tak lama kemudian dua orang lelaki yang terlihat berumur 20 tahunan masuk ke dalam kelas dengan pakaian yang rapi.

Semua nampak kebingungan dengan kedatangan kedua orang itu. Beberapa juga dapat menebak apa yang akan dilakukannya.

"Selamat pagi, adik-adik."

Krik krik krik krik—

Tidak ada yang menyahut karena semuanya masih dilanda kebingungan. Kedua kakak itu hanya tertawa canggung dan kembali melanjutkan.

"Mungkin dari kalian ada yang sudah mendengar kabar tentang saudara kita yang terkena bencana alam di daerah selatan. Maksud kedatangan kami kemari adalah untuk mencari orang-orang yang mau berbaik hati dan berbelas kasih menyumbangkan donasi untuk saudara kita."

"Kami tidak meminta banyak. Cukup seikhlasnya adik-adik sekalian saja. Seperak pun sudah sangat membantu."

Setelah menyampaikan beberapa hal. Kedua laki-laki itu memberikan amplop untuk setiap anak. Amplop ini yang nantinya akan diisi dengan uang donasi dari para murid di kelas ini.

Sebar-bar apapun Athanasia, gadis itu tentunya memiliki hati nurani. Ia pun memasukkan semua uang jajan yang dibawanya ke dalam amplop kemudian menyerahkan amplop itu ke lelaki yang tadi.

Setelah selesai mengambil kembali amplop-amplop, kedua lelaki itu pamit undur diri karena harus mengunjungi kelas-kelas yang lainnya.

Athanasia menyandarkan punggungnya ke kepala kursi. Jujur, hatinya tidak tenang.

Tak lama kemudian guru matematika memasuki ruang kelas. Pelajaran dimulai.

---

Bel pulang sekolah berbunyi beberapa saat yang lalu. Kini para murid sedang sibuk merapikan buku dan mengemasi barang-barangnya.

"Ada apa?" Tanya Lucas. Pasalnya hari ini Athanasia tidak banyak bicara, tidak seperti biasanya.

Lucas sebagai kekasih yang peka dan pengertian tentu menyadari perubahan gadis itu.

Pergerakan tangan Athanasia terhenti, gadis bersurai keemasan itu menaikkan sebelah alisnya. Tidak mengerti mengapa tiba-tiba Lucas menanyakan hal itu.

"Kamu gak banyak ngomong hari ini."

Benar juga. Athanasia juga memikirkan hal yang sama.

"Entah, mungkin ... gue agak gak enak badan." Jawabnya yakin tidak yakin.

Lucas tau, Athanasia bukannya merasa tidak enak badan. Gadis itu pasti sedang banyak pikiran. Terlihat dari keningnya yang beberapa kali berkerut, Lucas sudah hafal karakter gadis ini.

Srek!

Athanasia menggendong tasnya ke punggung setelah selesai membereskan buku-bukunya.

Ia menggandeng tangan Lucas untuk meninggalkan kelas. Mereka berdua orang terakhir yang keluar dari kelas. Bahkan di koridor sekolah hanya ada beberapa murid yang terlihat, selebihnya pasti sudah pulang atau di tempat lain.

Keduanya sampai di tempat parkir. Nampak mobil Lucas yang menjomblo karena tidak ada pasangan. Yah memang jarang ada siswa yang membawa mobil ke sekolah.

Lucas merogoh saku celananya. Mencari suatu benda. Seingatnya lelaki itu menaruhnya di saku celana. Atau tas?

Pemuda itu membuka tas hitamnya dan mencari keberadaan benda itu.

"Napa, su?" Tanya Athanasia.

"Kunci mobilku mana, ya?"

Helaan napas terdengar dari mulut pemuda itu. "Kayaknya ketinggalan di kelas."

"Ya udah, ayo ambil."

Lucas mengangguk. "Kamu tunggu di sini aja."

"Gak ah, nanti diculik wewegombel." Gadis itu menggeleng tidak setuju. Surainya bergerak mengikuti pergerakan kepalanya.

Mau tak mau Lucas mengajak Athanasia kembali ke kelas guna mengambil kunci mobil yang ketinggalan itu.

"Aduh, Lucas sialan, kaki gue pegel."

"Dih, tadi siapa yang mau ikut?" Pemuda itu melirik sinis. Athanasia hanya mengembungkan pipinya sebal.

Lucas berjalan ke arah mejanya. Memeriksa laci dan menemukan barang yang dicarinya.

Namun belum sempat mengajak Athanasia kembali ke tempat parkir, keduanya merasakan adanya getaran.

Athanasia panik, tentu saja!

Barang-barang berjatuhan. Tergeser ke sana kemari. Jendela kelas mulai retak. Ini bukan pertanda baik.

"Athy!!"

Lucas segera menarik Athanasia untuk berlindung di bawah meja agar tidak terkena benda yang terjatuh.

Tidak salah lagi ini adalah bencana susulan yang baru saja terjadi kemarin malam. Tepatnya di wilayah selatan Obelia, tidak jauh dari sekolah ini.

Gempa bumi.

-Bersambung-

Hai!😀

Ummm ... hai!
Nngggg ... halo?
Gimana kabar kalian? Sehat?

Btw ini udah mendekati ending hehe:D gabanyak yang pengen ku sampein...

Oke see you!❤️

COUPLE [SIBAP Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang