32. Echoes of Memories

1K 259 107
                                    

Haiiiiii... aku kemarin ijin pamit kan ya, tapi gara2 liat fanmeeting Taehyung yang ada Jiminnya nyempil, aku jadi kangen banget sama mereka dan langsung nulis :') Tinggal 2 bab lagi guysssss..... Sudah siap berpisah dengan cerita ini????

as always, jangan lupa vote ya zheyeeeng... abis ini jangan mengharapkan up dlm waktu cepet dulu yah, asli bener2 riweuh mulai skrg sampe sebulan ke depan, miaaan T__T


--------------❈❈❈--------------


"Kau akhir-akhir ini sering melamun. Apa ini pekerjaan barumu? Apa ada yang membayarmu untuk melakukannya? Tck, bocah satu ini."

Taehyung yang memang sedang memandang kosong pada garis kota yang luas di luar jendela kantornya, memutar sedikit kursinya agar dapat bertatap muka dengan pria yang sedang mengomelinya.

"Sejak kapan kau datang?" tanya Taehyung.

Jimin menggeleng. Dia berdiri di depan meja kerja Taheyung. Tangannya bertopang di pinggang, sementara di dalam hati, ingin sekali rasanya Jimin menggulung Taehyung dengan daun perila, lalu menggigit dan mengunyahnya. Dia benar-benar gemas bercampur kesal. "Dua hari lalu, kau lupa menginjak rem di lampu merah. Kau hampir membuat Jihee menjadi janda dan anakku kehilangan ayahnya, sadar tidak, sih? Kemarin, ketika aku meminta sumpit, kau malah memberiku sedotan. Pikirmu ramyun macam apa yang dimakan menggunakan sedotan, hah? Tadi pagi, alih-alih menempel post it untuk Bibi Song di pintu kulkas, kau malah menempelnya di punggung tanganmu sendiri. Yak! Kau ini kenapa? Klien mana yang membuatmu gila kali ini?"

Taehyung mendesah panjang. Omelan Jimin hanya seperti melempar gumpalan benang baru ke tengah-tengah pikirannya yang masih kusut.

"Aku ada jadwal mengajar satu jam lagi," Taehyung bangkit dari duduknya, menyambar jas yang tadi disampirkannya pada sandaran kursi dan mengenakannya, lalu memasang kacamata yang membingkai wajahnya dengan tepat. "Tenang saja, aku terbuka menerima omelanmu, tapi kita lakukan nanti saja, ya. Pilih, di bar mana kau ingin kutraktir, nanti aku menyusul. Maaf, kali ini aku tidak bisa makan siang denganmu."

Taehyung menepuk-nepuk bahu Jimin untuk membesarkan hatinya, lalu berjalan menuju pintu, meninggalkan meja kerjanya dan Jimin yang masih berkacak pinggang di belakang.

"Taehyung," panggil Jimin sebelum karibnya itu sempat menekan tuas, "memangnya ada apa dengan Isabelle?"

Langkah Taehyung terhenti. Pelafalan sebuah nama yang sudah lebih dari tujuh tahun tak pernah lagi terdengar di dalam pembicaraan mereka, membuat Taheyung memutar tubuhnya kembali pada Jimin. Baginya, nama itu begitu tabu untuk disebut, tapi Jimin menyebutkannya tanpa aba-aba, tanpa Taheyung dapat bersiap lebih dulu.

"Memangnya kenapa dengannya?" Taehyung balik bertanya.

"Ayolah, aku mengenalmu lebih dari dua puluh tahun, Taehyung. Kaupikir kau bisa membohongiku?"

Mulanya Taehyung terpegun, lalu tersenyum kecil menertawai kekonyolannya sendiri. Dia bersedekap dan membalas tatapan mengolok yang Jimin beri dengan santai, "Kelihatan, ya?"

"Sudah kubilang, kau ini salah orang kalau mau membohongiku."

Beberapa saat kemudian, Taehyung dan Jimin sudah duduk bersama di sebuah sofa pada sisi lain ruang kerja. Taehyung menunjukkan ponselnya pada Jimin. Sebuah laman berita daring yang memuat biografi seseorang lengkap dengan foto, terpampang di layarnya.

"Lihat. Masih ingat?" Taehyung bertanya, dan seketika mata Jimin yang besarnya tak seberapa itu terbuka dua kali lebih lebar.

"Ini ..."

"Jungkook, sedang memangku anak balitanya," sambung Taehyung.

Jimin tak bisa menyembunyikkan keterkejutannya. Dia sudah ingin menyela, tapi Taehyung tak memberikannya kesempatan. Pria berhidung bangir itu lekas menyambung ucapannya.

The Scar We Choose ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang