28. Hardest Goodbye

1.1K 273 216
                                    

(edited: maaf aku repub, ternyata ada part yg aku edit ga ke save, huhuw... sebelum nambah lagi yang baca, aku unpub dulu dan perbaiki, lalu publish ulang)

Jangan heran aku update lagi. Aku udah bilang alasannya di announcement beberapa kali, tapi bagi yang ga follow ya ga kebaca deh :') Intinya, aku terpaksa menulis ulang 6 bab menjelang tamat ini karena sesuatu, dan menunggu ebook selesai sepertinya akan jadi sangat lama. Lagian sama-sama free harusnya ga masalah yaaa.. Yuk yang belum follow, follow dlu ya biar tau kalau ada pengumuman. Untuk next part, aku akan segera update di saat itu juga jika vote nyampe 130, okeee?? Bisa? Bisa doooong, active reader cerita ini tuh nyampe 900an lebih loooh... harusnya bisa sih, ehehehe

—————***—————

"Taehyung! Ini terlalu kencang! Demi Tuhan, aku masih belum mau mati sebelum menikah!"

Jimin susah payah menahan tubuhnya pada pegangan di atas jendela kabin sisi penumpang yang iya duduki. Jika dilihat-lihat, pria itu bahkan sudah memasrahkan separuh bobot tubuhnya dan bergelantungan di sana. Bokongnya hampir tidak menyentuh dudukan lagi. Mukanya pucat, parasnya ketakutan setengah mati, suara jeritannya sudah seperti tawanan di ujung pedang algojo, tapi tak sedikit pun Taehyung terusik. Dia bahkan makin menekan pedal gas dalam-dalam.

"Pembatas jalaaaan, awaaasss!!! Pemb..."

"Jim! Kau mengganggu konsentrasiku!"

Jimin semakin gemas ketika Taehyung lebih peduli pada konsentrasinya untuk kian melajukan mobil ketimbang keselamatan mereka. Mobil ini seperti mobil gila yang hilang kendali. Jimin langsung ingat bahwa nyawanya bisa dicabut kapan saja, sekarang misalnya. Juga jadi ingat kalau masih banyak hal yang ingin dilakukannya sebelum mati. Mengunjungi Thailand dan menonton kabaret seksi di sana, berjemur di resort mewah Maladewa, berselancar di Hawaii, setidaknya dia ingin tobat kalau sudah menikmati separuh kenikmatan dunia yang tadi itu, bukan sekarang!

"Yak! Pelankan sedikit!" Jimin meraung kesal.

"Dantae tahu uangnya hilang."

Ucapan Taehyung membuat Jimin makin menegang. "Dantae apa?" tanyanya tak percaya, tapi Taehyung tak menghiraukan. Pria itu terus fokus pada jalan di hadapannya.

"Jim, tolong sambungkan pada Jungkook, aku harus berbicara padanya."

Sebenarnya Jimin sudah ingin protes lagi karena Taehyung sengaja melepas satu tangannya dari roda kemudi demi menyerahkan ponsel, tapi Jimin urung. Bekerjasama agar semuanya ini lekas berakhir sepertinya jauh lebih penting. Jimin tak mau berlama-lama menjadi penumpang di dalam kendaraan maut ini.

***

Pukul sepuluh malam, jalanan Seoul yang masih basah oleh sisa-sisa gerimis mulai lengang. Jungkook melajukan mobilnya dalam batas aman, tapi ada yang terlihat tak biasa bagi Isabelle.

"Ada apa?" tanya Isabelle. Berkali-kali dia memergoki Jungkook melirik spion di atasnya, padahal ini jalan bebas hambatan. Harusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari arah belakang.

Jungkook yang menyadari sikap berlebihannya itu diketahui Isabelle hanya menggeleng. Tapi sebentar kemudian, dia kembali melirik spion.

"Oppa, kau terlihat gelisah." Isabelle sedikit memutar badannya dan menoleh ke belakang. Matanya menyipit oleh sorot lampu kendaraan lain yang mengambil jarak terlalalu dekat. Ini aneh. "Kenapa mobil itu jaraknya dekat sekali?"

"Aku tau," balas Jungkook. "Bella, duduk dalam posisimu kembali. Sepertinya pengemudi di belakang kita sedang mabuk. Aku takut dia melakukan sesuatu yang membuat mobil ini tidak stabil."

The Scar We Choose ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang