Prolog

9.2K 545 33
                                    

Kelahiran Sang Putra Mahkota

Suara gong bertabuh, gamelan dimainkan dan para penari menarikan tarian penyambutan. Para tetua menguasai aula istana dengan riuh, Sang Raja hadir di tengah mereka ragu. Suara teriakan dari permaisuri membuat bulu kuduk merinding. Hari yang ditunggu Sang Raja akhirnya tiba. Permaisuri akhirnya melahirkan setelah lima belas tahun tidak diberikan kepercayaan oleh Dewi Kesuburan. Teriakan kencang itu juga membuat kedelapan selir Sang Raja meringis, karena ketika mereka melahirkan anak perempuan mereka, mereka tidak berteriak sekencang itu.

Ketahuilah, Sang Raja telah menikah delapan kali dan kedelapan selirnya melahirkan anak perempuan. Keinginan Sang Raja adalah memiliki anak laki-laki, yang sehat dan kuat agar bisa memimpin kerajaan Akkadiamadjantara kelak. Seorang pemimpin haruslah dari darah dagingnya sendiri. Ia berharap penuh, bahwa anak yang akan hadir itu adalah laki-laki. Jika tidak, maka ia akan menikah lagi untuk mendapat anak laki-laki. Satupun dari kedua puluh delapan anaknya bersama para selir tidak ada yang berjenis kelamin laki-laki.

Entah apa yang telah menyihir kerajaan Akkadiamadjantara sehingga tak satupun selir melahirkan anak laki-laki.

Suatu hari, kala Sang Surya tenggelam. Teriakan panjang dan keras diiringi dengan tangisan yang kencang sehingga memekakan telinga. Sang Raja tanpa diperintah, masuk ke dalam kamar istrinya dan melihat bayi laki-laki itu berada di dalam gendongan tabib yang membantunya keluar. Ia menggendong bayi merah itu dengan hati-hati.

"Akhirnya, seorang keturunanku lahir," lirih Sang Raja.

"Anak laki-laki!!! Akhirnya aku memiliki anak laki-laki!!!" teriaknya cukup kencang. Ia pun memberitahukan semua orang bahwa ia telah memiliki anak laki-laki. Sang Raja cukup bahagia sampai semua orang memberinya selamat.

Kala Sang Surya tenggelam, perayaan kelahiran putra, seorang pangeran mahkota, disambut meriah oleh masyarakat Akkadiamadjantara. Semua hasil panen diberikan untuk merayakan hari bahagia Sang Raja. Musik-musik didengarkan sehingga orang-orang di luar kerajaan juga mengetahui bahwa kini Akkadiamadjantara telah memiliki seorang pewaris.

"Kegembiraan seorang bangsawan yang rajin dan terampil, pembawa kebahagiaan bagi seluruh rakyat Akkadiamadjantara. Mada Arya Kawidagda Haribawa Bajradakkawirya," bisik Sang Raja dan menyematkan gelar anaknya itu sebagai putra pahkota, "Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangku Negara Sudibya Rajaputra Narendra ing Akkadiamadjantara."

Perayaan hari besar itu ternyata membawa petaka bagi Sang Raja. Kebahagiaannya telah membuatnya buta dan lupa, bahwa ia juga pernah menikahi seorang dayang yang selalu menyisir rambutnya disaat fajar dan senja—selir ke sembilan. Sang Raja bahkan tidak mengetahui bahwa ia ternyata sudah mempunyai anak bersama selir ke sembilan. Di hari bahagia Akkadiamadjantara, selir ke sembilan hadir di istana, membawa anak yang berumur satu tahun itu dalam dekapannya.

"Hartigan Abimanyu Margana Ttalaka Bajradakawirya, Yang Mulia, dia adalah anakmu. Anak yang aku lahirkan dari hasil hubungan kita," ucap selir ke sembilan dengan lirih dihadapan Sang Raja.

"Inah," gumam Sang Raja sangat terkejut melihat selir ke sembilan berada di hadapannya. Dihadapan semua orang Akkadiamadjantara yang hadir di aula petang itu.

Permaisuri menatapnya tajam seakan, akan membunuhnya di saat itu juga. "Yang Mulia," lirih permaisuri meminta penjelasan.

"Istriku... aku..." Sang Raja sangat gugup dan takut. Takut akan terjadi dua hal disat itu juga, yaitu permaisuri yang marah dan meninggalkannya atau permaisuri yang marah dan membunuh Inah. Sang Raja berdiri tepat dihadapan Inah berusaha melindunginya. Tetapi para tetua yang pernah menikahkan mereka menggeleng kuat agar Sang Raja pergi dari sana-demi harga dirinya.

"Kamu telah berjanji untuk tidak menikah lagi," kata Permaisuri kecewa.

"Aku tidak bermaksud, aku tidak..."

Tali sudah diikat mati, Sang Raja dihadapkan kebimbangan. Kesalahannya karena tidak memberitahu Permaisuri akan pernikahan diam-diamnya bersama dayangnya. Tetapi ia juga tidak ingin kehilangan Inah yang sangat cantik jelita bak dewi yang turun dari surga—sudah memberikannya kepuasan dunia.

Kegembiraan yang menyelimuti hatinya membuatnya sombong. Sang Raja memalingkan wajahnya dan berkata kepada seorang pengawal istana. "Bawa dia pergi dari sini," titahnya dengan tegas.

"Yang Mulia," lirih Inah dengan air mata yang memupuk menjerit keluar dari kelopkanya.

"Mereka adalah kesalahanku, jauhi kesialan ini dari putra mahkota. Cepat bawa mereka pergi!" seruan itu membuat selir ke sembilan jatuh bersimpuh dihadapnnya. Memohon agar dirinya dan putra kecilnya dapat tinggal di dalam istana. "Aku mohon, izinkan kami untuk tinggal di sini. Hanya istana ini tempat perlindungan kami, Yang Mulia."

"Kamu dan anakmu, tidak akan aku biarkan kalian menginjakkan kaki kotor kalian di dalam istana kami," kata permaisuri menendang Inah tanpa belas kasihan. Anak laki-laki itu menangis kencang di dalam dekapan ibunya.

Sang Raja memalingkan wajahnya, membawa putra mahkota jauh dari kesialan. "Aku hanya meminta dirimu adil, Yang Mulia. Kenapa aku yang kamu sembunyikan, kenapa kami diasingkan, Yang Mulia?" tanya Inah bergetar.

Sang Raja terlihat murka, ia berbalik dan berakata, "Karena kamu adalah kesalahanku. Aku telah bodoh tertipu oleh kecantikanmu dan menikahimu di hari itu. Kamu adalah wanita yang sangat aku benci, bawa dirimu dan anak sial itu dari istana kami!"

Inah menggeleng, Sang Raja telah membohonginya. Mata tidak pernah berbohong dan ia dapat melihat itu, tetapi entah kenapa Sang Raja menyembunyikannya. Sang Raja terus menjauh meninggalkan Inah yang terisak bersama putranya. Permaisuri mengangkat dagunya tinggi menandakan bahwa ia adalah orang yang harus dihormati. "Matilah kamu sesegera mungkin dan tinggal di dalam neraka." Permaisuri menendang selir itu dengan kencang sehingga tubuhnya terguling jauh ke bawah menggelinding di atas gundukan anak tangga. Meninggalkan putranya yang terlepas dari dekapannya di hadapan Sang Permaisuri.

"Bayi kotor, jangan pernah menginjakkan kakimu di Istana Antawirya." Kemudian ia memanggil dayang untuk membuang anak laki-laki itu.

Sang Raja menghentikannya, "Bawa anak laki-laki itu bersamamu, Dayang Widjaja. Asuhlah ia seperti anakmu sendiri. Jangan pernah bawa dia ke dalam istana, kalian tinggalah di rumah pondok dimana ia seharusnya berada."

Tujuh tahun hidupnya, putra mahkota tidak sebahagia yang diharapkan Sang Raja. Ia terus sakit dan selalu berada di atas tempat tidur. Dalam beberapa kesempatan ia merasa sehat, tetapi hal itu tidak akan bertahan lama. Sang Raja kembali murka, ia menyalahkan anak laki-laki dari selir ke sembilan, Hartigan Abimanyu Margana Ttalaka Bajradakawirya atas kesialan yang ia dan ibunya bawa. "Anak sial! Lihatlah perbuatanmu, anakku sakit-sakitan dan tidak bisa berbuat apa-apa. Jangan pernah menampakkan wajahmu dihadapanku, ini pertama dan terakhir kalinya aku melihatmu. Aku sudah cukup muak, dasar anak sial!"

"Tapi aku adalah anakmu, Yang Mulia," kata Hartigan dengan lugu.

"Kamu bukan anakku, sialan!" Sang Raja meraih cangkir teh yang berada di hadapannya lalu melemparnya dengan hina kepada anak itu.

Bendara Raden Mas kecil menyeka keningnya yang berdarah lalu menghormati Sang Raja dengan menunduk dalam. "Jika aku bukan anakmu, maka kamu bukanlah ayahku," desisnya pelan. Sehingga Sang Raja mengernyitkan dahinya berharap mendengar sesuatu.

"Keparat, apa yang sedang kamu katakan, anak sial?!" Sang Raja begitu marah sehingga ia menendang Raden Mas Hartigan sampai ia terguling di atas lantai kayu dingin itu.

Sang Raja mengambil pedangnya dan akan menghunuskannya kepada Raden Mas kecil itu. Namun, para pengawal menghalanginya dan Dayang Widjaja berlari menarik Hartigan dari sana.

"Kemari kau anak sial! Jangan membawanya pergi!"

Mereka bergegas secepat mungkin untuk pergi. "Raden Mas, cepat kemasi barangmu. Kita akan pergi dari sini. Yang Mulia akan melakukan apapun untuk membunuh kamu sekarang."

Hartigan mengepalkan kedua tangannya dan bersumpah di dalam hatinya. Bahwa ia tidak akan menginjakkan kakinya lagi di istana Antawriya, Akkadiamadjantara. "Kita akan kemana, Nyonya Widjaja?"

"Batavia, Raden Mas." 

Raden Mas Dan Aku-Tamat | Abrata Series #01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang