BAB 12 - Makan Malam

1.3K 166 6
                                    

Makan malam keluarga Abrata dihadiri oleh Raden Mas Hartigan Badjradakawirya yang sepertinya tidak menginginkan dirinya ada di tengah kehangatan keluarga itu. Hanya demi Nyonya Widjaja yang mengiyakan ajakan makan malaam Nyonya Abrata tidak mungkin Hartigan menolaknya. Lantas ia akan dicap sebagai pria yang tidak bermoral.

"Raden Mas, silahkan dicicipi dawetnya," ujar Haniya mempersilahkan pria itu untuk mencicipi hidangan penutup mereka.

"Akh, lezat sekali. Aku tidak pernah merasakan dawet selezat ini. Terimakasih atas undangan makan malamnya, Nyonya Abrata," balas Hartigan setelah mencicipi dawet dari juru masak keluarga Abrata.

"Kalau begitu seringlah makan malam bersama kami, Raden Mas." Haniya tersenyum ramah. Lalu melirik Caiden yang tidak senang dengan ajakannya.

Dhara sedari tadi diam dan tidak melirik sedikitpun kepada Hartigan yang duduk disampingnya. Pandangannya malah fokus kepada Eknath dan Fulmala yang terus saling melempar kacang goreng mereka.

"Fulmala, berhenti melempar kacang goreng itu kepadaku," kata Eknath menahan kekesalannya.

"Aku tidak melemparnya, mejamu saja yang lebih rendah daripada mejaku."

"Meja ini sama rata, tidak ada kemiringan."

Hartigan ikut melihat kedua bocah yang sedang beradu argumen itu. Sudut bibirnya tertarik ketika ia memegang gelas lalu meneguknya. Dhara memperhatikannya dengan sangat serius.

"Kamu tida perlu memperhatikan mereka," ucap Dhara menatap Hartigan.

Hartigan mengangkat sebelah alisnya. "Lalu aku harus memperhatikanmu, wanita yang tidak suka duduk disebelahku?"

"Tidak perlu, karena duduk bersebelahan dengamu saja sudah membuat aku tidak selera makan," jawab Dhara.

"Lantas, wanita seperti inikah yang menjadi acuan mutlak debutan di Batavia?"

"Kamu tidak perlu peduli," ucap Dhara menoleh kepada Hartigan.

"Baiklah, aku tidak akan membahasnya."

"Kenapa kamu menerima tawaran makan malam ini?" tanya Dhara heran kepada Hartigan.

"Sebenarnya aku tidak menerimanya dan tidak ingin menerimanya. Nyonya Widjaja yang menerima undangan ini untukku." Dhara memperhatikan cara pria itu berbicara. Bahkan suaranya terdengar berat dan seksi dalam bersamaan.

"Kalau begitu kamu menerima undangan ini dengan paksaan," ucap Dhara memasukkan potongan wajik ke dalam mulutnya.

"Bisa dibilang begitu." Hartigan masih memegang cangkir minumannya.

Dhara menatap Hartigan kesal. "Bisakah kamu tidak menjawabnya dengan jujur? Setidaknya berikan jawaban yang membuatmu terlihat bermoral. Kamu tidak sopan sama sekali, arogan dan sangat angkuh."

"Lihat siapa yang peduli dengan siapa," kata Hartigan yang terdengar menyebalkan di telinga Dhara.

Arsya yang duduk di tengah meja besar itu berdeham. "Raden Mas, bagaimana dengan makan malamnya?"

Hartigan mengangkat kepalanya kepada Arsya. "Sungguh makan malam yang tidak akan pernah aku lupakan, Tuan Abrata. Juru masak kalian benar-benar istimewa, apalagi dawetnya. Aku sangat menyukainya."

Arsya tersenyum senang dan melanjutkan makan malamnya.

"Raden Mas, apakah ada kemungkinan kamu akan menetap di Batavia tahun ini? Mengingat kamu baru saja kembali dari perjalanan anehmu." Caiden membuka suara bertanya kepada temannya.

"Aku belum merencanakan perjalananku tahun ini. Tetapi, sepertinya aku akan menetap selama sebulan lalu kembali bepergian," jawab Hartigan tidak yakin.

"Begitu," balas Caiden singkat.

"Kamu suka bepergian tanpa tujuan Raden Mas?" tanya Bhalendra yang duduk di depannya.

"Tidak juga, biasanya aku akan menetapkan koordinat-koordinat sebelum pergi."

"Kamu tidak berniat bepergian menggunakan bahtera? Keluarga kami memiliki kapal yang bisa membawamu ke Eropa. Bukankah semua orang ingin pergi ke Eropa?" tanya Bhalendra sambil mencicipi dawetnya.

"Tawaran yang bagus, terimakasih atas tawaranmu. Aku mabuk lautan, maka itu aku lebih sering berkuda, Tuan Abrata," jawab Hartigan menyungging senyumnya. Dhara melihat itu senyum geli yang Hartigan tarik sudut bibirnya.

"Apa kamu memperhatikanku, Nona Dhara?" Dhara tersadar dan kembali menatap Hartigan dengan wajah kesalnya.

"Tidak ada yang perlu diperhatikan, Raden Mas."

***

Bersambung...

Raden Mas Dan Aku-Tamat | Abrata Series #01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang