BAB 46 - Berakhir

1.5K 143 0
                                    

"Aku tidak akan membiarkanmu pulang, Dhara. Inilah rumahmu sekarang, rumahmu bersamaku, dan bersama anak kita." Hartigan mengenggam tangan itu dengan erat.

Dhara mengerutkan keningnya. "Anak kita?"

"Kamu hamil, Dhara."

"A-aku hamil?"

Hartigan memeluk istrinya, ia tidak ingin melepaskan pelukan itu. Diciumnya aroma tubuh istrinya yang telah lama ia rindukan. Dhara adalah pelipur laranya, wanita ini adalah obat yang tidak akan ia temui di manapun. Istrinya merupakan satu-satunya orang yang membuatnya hanya dengan melihatnya seakan semua masalah menguar di udara.

"Aku menginginkan kamu di sini, bersamaku. Kandunganmu cukup rentan, Dhara."

"Kalau begitu, Batavia adalah tempat untuk membesarkan bayi ini, Hartigan. Dokter di sana-"

"Aku akan memanggil dokter terbaik dari Batavia jika perlu dari Eropa untuk merawatmu di sini, di dekatku." Hartigan memandang para tabib kerajaan yang terlihat bingung. "Para tabib kerajaan juga bisa belajar langsung dari mereka di sini."

Dhara menggeleng kencang. "Aku tidak bisa," lirihnya lemah. "Kamu akan menikah dengan Raden Ajeng Paramitha."

"Semuanya, kita bisa meninggalkan ruanga. Biarkan Sri Sultan dan Permaisurinya beristirahat," jelas Saka membuka pintu dan membawa semua orang keluar.

"Itu tidak akan terjadi," bisik Hartigan pelan. Pria itu mendesah pelan dan menatap Dhara dengan penuh perhatian. "Itu semua salah paham, Dhara. Aku tidak melakukan memalukan seperti itu, apalagi disaat aku masih terikat denganmu."

"Apa yang aku lihat, itu yang aku percaya," gumamnya melemah.

"Semua yang kamu lihat hanyalah kesalah pahaman Dhar. Bagaimana cara aku membuatmu percaya?" Hartigan menyugar rambut gelapnya frustasi. "Aku, kamu dan Paramitha hanya bertemu di waktu yang salah."

"Aku mengikutimu, ingin melihatmu melakukan apa di rumah pondok. Sebelum itu aku mencari Bakrie untuk memberitahunya bahwa kamu mungkin akan merenovasi rumah pondok, kedua lantainya." Hartigan menghembuskan napasnya berat. "Ketika aku membuka pintu itu, Paramitha berada di ranjang, diikat dengan telanjang. Aku tidak tahu apa yang ia lakukan di sana? Atau sudah berapa lama ia berbuat hal itu bersama Bakrie."

"Dhara," panggilnya lembut. "Aku hanya akan menolongnya. Aku membebaskan Bakrie karena tidak mungkin aku merelakan teman yang telah hidup bersama masa lalu suramku mati. Bakrie memang salah, tetapi aku yang akan menghukumnya dengan caraku, bukan dengan cara Eyang atau Pamanku."

Dhara sama sekali tidak ingin menatap suaminya. "Apa yang harus aku lakukan, Dhara? Katakana kepadaku, apa yang harus aku lakukan agar kamu percaya kepadaku?"

"Tidak ada," jawab Dhara tegas. "Mau bagaimanapun, ucapanmu tadi hanya kamulah yang mengetahuinya, Hartigan. Sementara Eyang dan Pamanmu pasti sangat menginginkan pernikahan ini."

"Dhara," desah Hartigan memberat. Seluruhnya napasnya terasa sangat seulit untuk di keluarkan. "Baiklah, aku akan menunjukkan kepadamu. Bahwa yang terjadi hanyalah salah paham." Hartigan berdiri sebelum ia menutup pintu ia berkat, "besok aku akan melakukan upacara pernikahan. Dan kamu akan tahu bahwa aku dengan Paramitha bukanlah takdir yang harus dipertemukan."

***

Para tetua adat menguru semua siraman pagi itu. Kaesang Djatiara sebagai ketua dan penasihat Sang Raja melihat langit mendung yang belum juga memunculkan sinar matahari dan menunggu keluarga kerajaan dan keluaraga mempelai wanita hadir di aula upacara.

"Yang Mulia." Kaesang menundunk dalam kemudian ketika Kawina dengan Kawidagda memasuki aula utama. Aula utama kerajaan hanya dihadiri oleh para tetua, kedua orang tua mempelai dan tentu saja istri Sang Raja yang tengah berusah duduk tegak di kursinya. Ia menyaksikan semua proses yang dilakukan seperti waktu itu ia dan Hartigan menikah. Intim dan sakral.

Raden Mas Dan Aku-Tamat | Abrata Series #01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang