BAB 28 - Dilema

1.1K 116 0
                                    

Semenjak kasus Tuan Alatas, Nyonya Alatas jarang menampakkan dirinya. Ia menyendiri, menunggu hasil keputusan hakim apakah suaminya ikut bersalah atau tidak. Hari demi hari, dan malam demi malam ia habiskan untuk menangisi suaminya yang malang. Bahkan kedua anaknya melihatnya tapi tidak berusaha menghiburnya.

"Kienan," panggilnya dengan bergetar. "Darimana saja kamu?" tanya kepada putri kembar sulungnya.

"Acara peringatan satu tahun pernikahan Emi Buchanan dan Edgar Buchanan," jawab Kienan tanpa melihat ibunya.

"Kamu pergi tanpa pedamping?" tanya Nyonya Alatas menginggikan suaranya, menarik lengan Kienan agar melihatnya.

Kienan berdecak kesal. "Lantas aku harus duduk diam di rumah? Tanpa ada yang melamarku? Mama, Pangeran Radjendra menaruh perhatian kepadaku. Ia menyukaiku."

Nyonya Alatas mendesah kesal. "Tetapi setidaknya beritahu aku, aku bisa menemanimu."

"Menemaniku?! Yang Mama hanya bisa lakukan adalah menangis. Aku tidak perlu ditemani."

"Kienan!"

"Mama bisakah kita tidak membahasnya? Aku sangat lelah, Nona Dhara ...ia telah mengambil perhatian Pangeran Radjendra. Sangat tidak malu, padahal ia adalah kekasih dari Raden Mas Hartigan yanag semua orang tahu bahwa mereka adalah pasangan abad ini." Kienan berkata dengan sangat kesl sampai ia meremas kebayanya.

"Mungkinkah ia sudah tidak berhubungan lagi dengan Raden Mas?" tanya Nyonya Alatas heran.

"Aku lelah, aku ingin tidur."

Nyonya Alatas lalu duduk di sofanya. Memeriksa koran dengan berita suaminya lagi. Kieran yang sedari tadi di kamarnya berusaha maykinkan dirinya agar segera mengatakan keinginannya kahirnya keluar dan menemui ibunya.

"Mama," panggilnya pelan. Nyonya Alatas menatap datar Kieran.

"Aku ingin menyampaikan sesuatu," kata Kieran cemas. Ia memijat jemarinya lalu berlutut di depan ibunya. "Aku ingin menjadi relawan di kamp penampungan. Aku akan membantu disana, menjadi guru dan menyalurkan ilmu yang aku punya kepada anak-anak di sana."

Betapa terkejutnya Nyonya Alatas mendengar perkataan putri kembar bungsunya. "Apa?! Bagaimana dengan pernikahanmu?"

"Tidak ada yang datang melamarku, Mama. Aku adalah permata yang redup, biarkan aku pergi dan Kienan akan bersinar sendiri. Mama tidak perlu khawatir dengan aku, aku tidak akan menikah."

Nyonya Alatas membuka mulutnya ketika mendengar perkataan putrinya lagi. "Kieran, apa kamu gila?! Mau diletakkan dimana wajahku ketika orang-orang bertanya kapan kamu menikah?"

"Apa sepenting itu menikah, Mama? Bukankah lebih penting menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain. Itu perbuatan yang lebih mulia daripada menikah."

Nyonya Alatas melemparkan korannya kepada Kieran. "Aku menyesal telah melahirkanmu, Kieran. Menikah adalah segalanya bagi wanita. Siapa yang telah mencuci otakmu?!"

"Aku telah mendapatkan izin dan dalam minggu ini berangkat ke sana."

"Aku tidak mengizinkanmu, diam dirumah dan tunggu seorang pria melamarmu."

Kieran menunduk dalam, "menuggu pelamar yang entah kapan, itu membuang waktu, Mama. Lebih baik waktuku kuhabiskan untuk sesuatu yang bermanfaat." Lalu pergi kembali ke kamarnya.

"Kieran! Kieran, kembali ke sini dan dengarkan ucapanku." Nyonya Alatas memijat kepalanya dengan keras. "Akh, aku telah melahirkan anak kembar yang salah. Ya Tuhan apa Engkau menukar mereka dulu? Mengapa keduanya tidak ada yang menuruti perkataan ibunya?"

Raden Mas Dan Aku-Tamat | Abrata Series #01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang