BAB 26 - Gejolak Gairah

2.6K 144 0
                                    

Semenjak pulang dari pesta penyambutan Pangeran Radjendra, Dhara terus memikirkan pria itu. Hartigan selalu hadir di dalam pikirannya, mengacaukan pekerjaan hipotalamusnya. Menggiring emosi gairah dan nafsu yang tiak pernah ia pikirkan sebelumnya. Sehingga ia menjadi sangat penasaran dengan perkataan Hartigan di pesta itu. Menyentuh dirinya sendiri, itu adalah hal yang tabu. Dhara belum pernah melakukannya sebelumnya. Apakah ia akan mendapatkan kesenangan seperti yang dikatakn Hartigan kepadanya, Dhara sangat penasaran.

Ia tidak dapat tidur dengan lelap, matanya terbuka ketika setiap perkataan Hartigan seakan bebisik tepat di telinganya. Dhara terduduk di atas tempat tidurnya, melirik sekilas ke arah pintu lalu berjalan dan mencguncinya. Ia menarik napas dalam, bersender kepada kepala ranjang. Hartigan terus merasuki pikirannya, sekelebat bayangan mengenai pria itu hadir didalam kepalanya. Dhara memjamkan matanya, membiarkan indra perabaannya menyentuh setiap jengkal tubuhnya.

Ia menahan napasnya, ketika tangan itu akan meraba bagian sensitif pada kedua payudaranya. Tanpa ia sadar, ia melanjutkan pergerakannya menuju bagian yang dikatakan Hartigan, diantara kedua paha. Ia meraba perlahan pelan tapi pasti setiap jengkal pahanya lalu memasuki bagian paling sensitive dari dirinya. Dhara mneyentuhnya dan mendesah ketika kenikmatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Dhara merasakan kepuasan yang sangat nikmat. Didalam pejaman matanya, Hartigan terus menjadi objek kenikmatannya untuk pertama kalinya.

Dhara membayangkan, ketika pria itu menyentuh tangannya, mengusap punggungnya dengan lembut bahkan berbisik dengan begitu dekat. Sampai ia dapat merasakan hembusan napas pria itu mengenai kulitnya. Hartigan benar-benar telah membuat pikirannya kacau dengan setiap perbuatan dan perkataan pria itu.

Kesenangan inilah yang dimaksud, ia terus mendesah pelan seiring dengan jemari kecilnya yang meraba bagian dirinnya yang paling sensitif...

***

Di siang terik lapangan pacu Senopati, Dhara baru saja tiba dan mencari tempatnya bersama Warni. Ia dan Hartigan berjanji akan bertemu di pacuan kuda untuk menonton pertandingan final Jokowati, kuda kesayangan Dhara. Perempuan itu menatap gelisah kea rah para penonton lainnya karena sebentar lagi pertandingan akan dimulai.

Dhara memilih untuk menontonnya sendiri sembari menunggu kedatangan pria itu. Dhara berteriak senang ketika Jokowati melewati putaran kedua. Dhara bergerak gelisah, menanti kekasih pura-puranya hadir dihadapannya. Matanya mneyipit ketika melihat satu orang yang berperawakan tinggi, dengan bahu lebarnya. Dalam dia berjalan, Dhara juga tahu bahwa itu adalah Raden Masnya.

Dhara memasang wajah pura-pura kesal dan berkata, "Aku menunggumu, lebih dari tiga puluh menit. Kita tidak berjanji bertemu ketika pacuan kuda selesai, Hartigan."

"Maafkan aku, Nona Dhara," jawab Hartigan tanpa melihatnya. Pandangannya fokus kepada kuda-kuda yang sedang berlari kencang.

"Aku pikir kamu tidak akan datang," kata Dhara mengerutkan hidungnya, lalu mneyipitkan matanya untuk melihat apa yang Hartigan lihat.

"Itu memang kemauanku," jawab Hartigan pelan.

"Apa maksudmu?" tanya Dhara dengan alis bertaut.

"Bukankah sudah jelas? Aku tidak akan pernah menemanimu lagi, hari ini, esok dan seterusnya," jawab Hartigan datar.

"Aku tidak mengerti, aku butuh penjelasanmu, Hartigan."

"Kamu sudah menemukan pelamar yang pantas untukmu. Aku terbebas dari desakan di Akkadiamadjantara dan juga Nyonya Widjaja. Ini menunjukkan bahwa tipuan kita berhasil dan harus diakhiri."

Dhara mengalihkan pandangannya kepada pria itu. "Apa aku membuat kesalahan, Hartigan?" tanyanya heran dengan sikap pria itu yang dingin.

Masih dengan tidak melihat wanita itu, Hartigan menjawab, "Tidak, kamu tidak salah, Nona Dhara. Hanya aku yang merasa bahwa kita tidak perlu bertemu lagi. Aku berhenti dari hubungan pura-pura ini," kata Hartigan tertahan.

Dhara menatap pria itu aneh, pikirannya tidak sampai untuk mencerna hal yang sedang Hartigan katakan. "Kenapa Hartigan? Apa ini ada hubungannya dengan percakapan kita kemarin? Apa kamu merasa bersalah?"

Hartigan menggeleng dan menghela napasnya kasar, "seorang Pangeran menaruh perhatian kepadamu, Nona Dhara."

Dhara mendesah frustasi, "Berhenti memanggilku dengan sebutan Nona."

"Aku rasa kamu memiliki seorang pelamar sekarang. Seorang Pangeran adalah pria yang terbaik untukmu. Ia jua sangat kompeten untuk menjadi suamimu nantinya." Hartigan terus memalingkan wajahnya ia bahkan tidak menatap Dhara yang berada di sampingnya sedari tadi.

"Kita tidak perlu bertemu lagi," sambung Hartigan berkata dengan tegas.

"Aku pikir kita berteman," cicit Dhara memalingkan wajahnya. Ia lalu menghela napasnya. "Tatap aku, Hartigan. Katakan kamu tidak ingin bertemu denganku lagi dengan menatapku."

Hartigan menarik napasnya, perlahan menghadap Dhara yang menatapnya nanar.

"Aku, kita tidak akan bertemu lagi. Berteman? Kita tidak pernah berteman Nona Dhara. Aku sadar aku telah mempermainkanmu dalam hubungan ini. Kini aku terbebas dari desakan untuk menikah di Akkadiamadjantara dan kamu telah mendapatkan seorang pelamar. Aku rasa hubungan pasangan abad ini telah berakhir, aku akan meninggalkan Batavia secepat mungkin." Hartigan menatap Dhara dengan rahang yang mengeras.

"Kenapa?"

"Aku rasa aku tidak perlu menjawabnya. Benar seperti yang Caiden katakana aku bukanlah pria yang pantas untukmu. Aku akan tetap menjadi Casanova diberikan celah untuk merusak perempuan yang baru beranjak dewasa, aku seharusnya tidak mengenalmu dan sebaiknya tidak menganggumu, Nona Dhara," kata Hartigan dingin.

"Hartigan dengar, aku dapat memposisikan diriku dengan baik dan membatasi kesopananku. Persetan dengan semua hal buruk yang akan kamu katakana kepadaku. Jika bukan kamu siapa lagi yang akan memberitahuku?" Dhara meneguk salivanya. "Aku mungkin tidak seharunsya bertanya."

"Mari kita tidak perlu merasa saling mengenal, Nona Dhara." Hartigan berucap final dan meninggalkan wanita muda itu dalam keheningan.

Dhara menatap kepergian Hartigan dengan hampa. Tatapan nanar, bahkan tembakan kemenangan Jokowati pun tidak ia sadari. Seperti ada yang hilang dari dalam dirinya. Dadanya terasa sakit, sehingga ia merasakan sesak yang amat sangat. Perkataan Hartigan benar-benar mneyakitkan hatinya. Apakah ini akhir dari hubungan mereka? Hubungan pura-pura yang mungkin Dhara sudah menaruh hati padanya. Apakah sakit ini karena Dhara telah mencintainya?

Raden Mas Dan Aku-Tamat | Abrata Series #01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang