BAB 2 - Melati Suci

3.3K 283 12
                                    

Di pinggir alun-alun Batavia, terdapat sebuah perumahan kalangan menengah yang jarang terjamaah oleh para bangsawan kecuali Abrata Caiden yang selalu ke sana untuk bersenang-senang bersama wanita yang ia nafkahi secara diam-diam dari keluarganya. Ratna namanya, ia sering sekali menjadi tempat keirian teman-temannya karena begitu dekat dengan anak ketiga keluarga Abrata itu.

Ratna adalah seorang pesinden di pergelaran wayang, ia dan Caiden bertemu ketika pria itu tengah mengiringi musik perwayangan. Caiden sangat mencintai musik, bahkan ia dijuluki sebagai maestro karena kejeniusannya itu. Tetapi sayang, semenjak ayahnya meninggal dunia ia meninggalkan dunia yang sangat dicintainya itu, menjadi pemabuk, berkelana kemana saja yang ia mau dan membuang dirinya hanya untuk bersenang-senang.

Desahan Ratna yang begitu menggoda, mengalun indah di telinga Caiden yang sedang menjamaah tubuh wanita itu. Teriakan Ratna memangil nama tuannya membuat Caiden semakin bersemangat untuk menyenggami pesinden itu. Ia memajukan tempo menjadi cepat seiring dengan teriakan Ratna.  

Setelah pelepasan itu Caiden menyelimuti wanitanya dengan perlahan dan mencium pucuk kepalanya dengan lembut.

"Sial, aku terlambat," umpat Caiden yang baru saja melompat dari ranjang.

Ratna duduk di balik selimutnya, "Apa ajang perjodohan di Batavia, Tuanku?"

"Benar, cintaku. Aku akan menemuimu lagi nanti." Caiden memakai celana satinnya dengan asal dan cepat, menguatkan tali pinggangnya dan mengancing celananya.

"Sayang sekali aku bukanlah wanita suci yang bisa mengikuti ajang itu," ucap Ratna yang membuat Caiden tersenyum menciumnya.

Ratna tersenyum getir tanpa suara.

"Sampai jumpa nanti malam." Caiden mencium lagi pucuk kepala wanitanya dan segera bergegas menaiki kudanya menuju Mansion Istana Madjakarta.

Tepat di samping kereta kuda keluarganya, Caiden menghentikan kudanya dan menyerahkan kepada pelayan rumahnya. Ia segera melangkah cepat menyamakan langkahnya dengan keluarga Abrata yang baru saja tiba.

"Mama," sapanya dan mencium punggung tangan ibunya.

"Dhara, apakah kamu gugup?" tanya kepada adiknya itu. Dhara menggeleng menghela napas.

"Sedikit. Jika kamu tidak datang tepat waktu, aku tidak yakin akan sanggup berdiri, Kakak," jawab Dhara menggandeng lengan Caiden dan berjalan bersamanya.

"Mama pikir kamu tidak akan datang," omel Haniya menaiki tangga dengan cepat.

"Bagaimana aku melewatkan hari bahagia adikku, Mama." Caiden memberikan lengannya kepada ibunya.

"Kamu memang suka terlambat, Caiden. Kepalaku sakit sekali karenamu." Haniya menerima gandengan itu. Sementara Arsya dan Bhalendra mendampingi adik kecil mereka.

Fulmala terlihat bersemangat dari langkahnya yang besar dan berayun. Sementara Eknath sibuk memandangi aula besar yang penuh dengan lukisan berukir batik Nusantara.

Para kembang musim ini bersiap mengantre menunggu nama mereka di panggil oleh kepala pelayan yang siap di depan pintu masuk.

Pelayan itu membaca nama-nama perempuan Batavia yang akan memasuki aula singgasana dimana Sang Ratu bertahta. Wanita berkonde rapi itu dibalut kebaya panjang yang menjuntai dengan renda-renda terbaik di Batavia.  Wajah menuanya yang tegas membuatnya di segani oleh seluruh rakyatnya. Ia adalah Ratu ke sembilan yang berkuasa di Nusantara—Gusti Kanjeng Ratu Isyana Wijayatunggadewi.

Pintu besar dengan ukiran rumit itu terbuka dan melihatkan Yang Mulia Ratu Isyana yang begitu dihormati, duduk dengan anggun bersama para dayang-dayangnya yang siap menilai para debutan.

Raden Mas Dan Aku-Tamat | Abrata Series #01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang