BAB 22 - Kabar Bahagia

1.4K 146 0
                                    

Baruch de Jongh melangkah lebar memasuki klub, ia duduk mengambil anggur dan duduk diantara para elit Batavia lainnya. Matanya bergerak gelisah karena orang-orang terus memandanginya dengan aneh. Ia tidak peduli dan membakar cerutunya.

"Aku pikir kamu seseorang yang terhormat, Tuan de Jongh. Gênant," bisik-bisikan mulai terdengar secara terang-terangan. Baruch de Jongh, serasa ada beratus bola besi yang dilemparkan kepadanya. Ia mengambil koran dan membaca artikel mengenai dirinya yang pernah ia tutupi.

"Maximillian Tanjoeng, sialan!" Ia meremas surat kabar itu dan mendatangi kenalannya.

"Mengapa surat kabarnya diterbitkan?" tanya Baruch de Jongh dengan nada meninggi menggunakan Bahasa Belanda.

"Karena kami tidak bisa menahannya, Meneer," jawab petugas itu lantang.

"Sialan! Kalian tidak ada bedanya dengan para monyet itu!"

"Itu sudah nasibmu, Meneer. Kami tidak bisa menutupnya dengan hutangmu yang belum lunas," ucapnya lagi lalu berkata dengan tegas, "berkacalah Meneer siapa monyet sebenarnya."

"Kurang ajar! Aku habiskan seluruh hidupku untuk pemerintahan ini. Kenapa kalian tega melakukannya?!" Baruch de Jong melempar semua artikel itu ke udara. Sehingga kedua tangannya ditahan oleh petugas disana.

"Jangan melawan Meneer, kamu telah memalukan bangsa kita."

"Memalukan? Aku justru membuat kalian lebih dikenal para monyet sialan itu!" teriak de Jongh ke muka salah satu petugas dan ia langsung mendapatkan ikatan ditangannya.

"Maaf, Meneer. Dengan datangnya surat kabar ini dan keluarnya surat perintah dari pimpinan. Kamu ditugaskan ke Soerabaya selamanya dan dilarang menginjakkan kaki di Batavia. Karena kamu telah memalukan negara."

***

Hartigan menyamakan langkahnya dengan Dhara yang baru saja selesai memilih brokat untuk pakaiannya. Pria itu sengaja ikut menemani kekasih pura-puranya agar menarik perhatian bangsawan lainnya.

"Jadi apakah kamu sudah terbebas dari Baruch de Jongh?" tanyanya kepada Dhara yang masih terus melihat kain-kain di sana. Butik Anne Gantie sangat diminati oleh bangsawan elit di Batavia. Hanya di rumah mode ini, kaum wanita dapat menemukan sutra pilihan terbaik.

"Seperti yang kamu dengar, ya. Aku sudah terbebas darinya," jawab Dhara senang. Ia mengambil salah satu kain bewarna putih dengan ornamen keemasan. "Bagaimana kain ini? Cocok untukku?"

Hartigan memegang kain itu dengan lembut dan meletakkannya di atas dada perempuan itu seakan mengukurnya. Dhara sedikit terkejut. Namun, dia dapat menetralkan ekspresinya. Setiap inci tubuhnya diperhatiakn dengan seksama oleh Hartigan yang bergaya layaknya seorang penjahit terkenal.

"Kamu mempermainkan aku," kikik Dhara mendorong Hartigan dan pria itu terbahak.

"Aku pikir kamu ingin pendapat dari ahlinya."

"Tidak, aku hanya ingin pendapat kamu, Hartigan."

Hartigan mengangguk, mengiyakan pilihan perempuan itu. "Bagus, cocok dengan kulitmu yang kuning langsat ini. Putih, keemasan, cocok untuk melati suci yang tengah mekar."

Dhara tersenyum mendengar perkataan Hartigan. Ia mengambil kain itu lalu meminta Anne Gantie memotongnya untuknya.

"Nona Dhara, tumben sekali datang tidak bersama ibumu," ucap Anne Gantie ramah.

"Mamaku sedang mengurus pemulangan keponakanku, Madam Anne."

"Oh, si kembar tiga?" tanya wanita yang kerap dipanggil Madam Anne itu.

Raden Mas Dan Aku-Tamat | Abrata Series #01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang