BAB 20 - Kebenaran

1.1K 146 1
                                    

Bhalendra segera menemui Arsya yang tengah berada di dalam ruang kerjanya yang cukup sesak itu. Dipenuhi tumpukan kertas dan juga tinta pena yang tersebar di mejanya. Arsya tengah memandang bingkai yang berada dihadapannya sebelum mengetahui Bhalendra sudah berada di hadapannya dengan wajah menegang.

"Adapa apa Bhalendra? Aku sudah mematikan perapian hari ini," kata Arsya meletakkan bingkai itu kembali pada tempatnya.

"Mengenai Tuan de Jongh," ucap Bhalendra kepada poinnya.

"Pemerintah Eropa yang menghubungiku kemarin. Surat izin pernikahan antara Dhara dan Baruch Cornelis de Jongh telah siap, Bhalendra."

"Kita bisa membatalkannya."

Arsya menggeleng, "Tidak bisa, Bhalendra. Keputusan mereka tidak bisa diganggu gugat. Mereka bukan orang yang mudah dibatalkan janjinya. Mereka punya konstitusi dengan prinsip yang kuat."

"Baiklah, maka dari itu aku akan bertanya satu hal kepadamu." Bhalendra berdeham, "Kenapa Baruch Cornelis de Jongh mempuyai kebun teh beratus hektar di Lembang?"

"Dia sudah tidak memilikinya lagi, Bhalendra. Papa telah membelinya," ucap Caiden kembali melihat catatan agenda yang pernah ia buat dahulu.

"Kenapa? Berapa Papa membelinya?"

"Apakah itu kebun teh di Lembang?" Bhalendra mengangguk. "Tuan de Jongh tidak memiliki kebun teh di Lembang. Semua perkebunan teh di Lembang diatas namakan oleh Papa dan perkebunan teh yang kamu maksud mungkin perkebunan teh di Subang, kebun teh atas nama Baruch Cornelis de Jongh?" Arsya mengerutkan dahinya. Ia menggeledah semua berkas mengenai kebun teh yang dahulu pernah papanya katakana kepadanya. Bahwa itu merupakan salah satu dokumen penting harus dia jaga.

"Penggulingan kekuasaan," bisik Arsya. Ia membalikkan lembaran kertas yang masih tersusun rapi itu. "Kurang ajar." Arsya membuka dokumen itu dan memperlihatkan kepada Bhalendra. "Apa kamu sependapat denganku?"

Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk menemui Maximillian Tanjoeng jurnalis yang pernah mengangkat artikel mengenai kesuksesan Baruch Cornelis de Jongh yang sangat tiba-tiba itu. Mereka dipersilahkan duduk oleh Sang Tuan Rumah pemilik percetakan paling tersohor di Batavia.

"Tuan Abrata, aku tidak mengharapkan kedatangan kalian yang bisa dibilang cukup terlambat ini," ucapnya dengan parau di usia senja.

"Kenapa kamu tidak memberitahu kami, Tuan Tanjoeng?" tanya Bhalendra hangat.

"Aku tidak mempunyai kuasa. Lagipula itu urusan keluarga kalian, hal yang saat ini tengah panas adalah kasus rumah bordir dengan para tuannya. Aku tidak perlu menganggu melati suci yang sebentar lagi akan menikah."

"Tetapi dia menikah dengan orang yang salah," ucap Arsya meninggikan suaranya.

"Arsya," tegur Bhalendra dengan tegas.

Tuan Tanjoeng tersenyum. "Kalian mengetahui ia orang yang salah, kenapa tetap meminta pemerintah Eropa membuat surat izin pernikahannya?"

"Itu kesalahan kami, Tuan Tanjoeng. Adikku, Abrata Caiden membuat perjanjian yang sangat tidak bermoral bersamanya. Dan itu membawa petaka bagi Dhara dan juga kami sebagai kakak yang telah gagal melindunginya." Bhalendra berkata dengan lembut penuh penyesalan.

"Masuklah," ucap Tuan Tanjoeng membawa mereka ke dalam ruang kerjanya. Ia meletakkan artikel lusuh yang masih terikat dengan tali. Kedua kakak beradik itu membukanya dan membacanya.

"Kudeta?" tanya Arsya ketika membaca paragrapnya.

"Tuan de Jongh secara sepihak melakukan hal yang tidak seharusnya ia lakukan. Ia memang pemegang kuasa penuh setelah ayah kalian. Dan itu membuatnya lupa bahwa di atasnya masih ada orang yang harus bertanggung jawab." Tuan Tanjoeng melipat artikel itu menjadi dua. "Ketika seseorang yang tidak memiliki prinsip di dalam hidupnya, ia mempunyai dua pilihan. Pilihan dengan sisi bergambar atau pilihan dengan sisi bertulisan. Seorang akan memilih sisi bergambar karena itu mudah dilihat dan jelas. Sedangkan mereka tidak tahu bahwa detail suatu gambar itu tertulis."

Tuan Tanjoeng menghela napasnya, "Tuan de Jongh hanya ingin keinginanya yang mudah dilihat itu hadir dengan jelas. Tanpa mau membaca detail yang tertulis mengenai konsekueninya. Dengan menjebak atasannya membayar apa yang ia perbuat. Ketidak berperinsipan itu membuatnya tidak tahu malu. Sementara atasannya yang sangat berperinsip dalam hidupnya tidak ingin mengecewakan orang-orangnya, ia membeli kembali kebun teh miliknya sendiri beberapa bulan setelah kebun teh itu dikudeta darinya. Semenjak itu Baruch Cornelis de Jong mulai bekerja di pemerintahan Eropa."

"Aku menulis artikel itu, pemerintahan Eropa menahanku karena aku telah mencela kaum mereka." Tuan de Jongh mendecih, "Memang tugasku membuat berita panas, salahkah aku jika aku menulisnya begitu?"

Bhalendra tersenyum geli, Tuan Tanjoeng memang memiliki selera humor yang bagus.

"Kalian pasti selalu membaca tulisanku, aku tidak pernah menulis berita suci. Jika itu bukan skandal maka itu aib orang."

"Tuan de Jongh tidak bersih dari hutang, apakah benar, Tuan Tanjoeng?" tanya Arsya kepada Maximillian Tanjoeng.

"Tentu saja benar. Uangnya habis untuk mengkudeta pada saat itu sampai ia tidak mempunyai uang untuk menutup tulisanku. Ia memutuskan untuk bekerja di pemerintahan Eropa dan meninggalkan banyak hutang di sana." Maximillian Tanjoeng menghembuskan asap cerutunya.

"Bagaimana kamu mengetahui ia mengkudeta pengelolaan serta kepemilikan kebun teh itu, Tuan Tanjoeng?" tanya Arsya yang masih serius membaca artikelnya.

"Aku adalah jurnalis, Tuan Abrata. Kami mempunyai telinga dimana-mana. Sekarang kamu melihat aku berada di depanmu tengah mengisap cerutu dan bercengkrama. Lima menit lagi kamu akan berjumpa denganku dirumahmu, lalu di klubmu, di pacuan kuda, di rumah bordir, seakan aku mengetahui semua berita panas di Batavia."

***

Bersambung...

Raden Mas Dan Aku-Tamat | Abrata Series #01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang