BAB 3 - Pelamar Pertama

2.5K 230 3
                                    

Pagi buta, Dhara sudah terbangun dari tidurnya. Ia bahkan tidak bisa tidur karena memikirkan hari ini. Hari di mana para pelamar akan datang dan mereka saling berkenalan untuk mengetahui minat masing-masing. Warni memasuki kamar dengan bahagia karena melihat majikannya telah bangun.

"Nona Dhara, kamu siap untuk hari ini?"

"Siap, Warni. Aku tidak sabar ingin berbicara dengan mereka. Tolong sampaikan kepada Polem untuk menambah kue basahnya. Oh dan juga kursi tambahan di ruang tamu utama, semakin banyak semakin baik." Dhara sangat bersemangat dan sangat tidak sabar untuk melihat siapa pria pertama yang hadir di rumah mereka.

Haniya menjahit sarung tangan milik Fulmala, Dhara yang sudah selesai bersiap itu terlihat cemas di kursinya. Pintu utama terbuka dan Bhalendra datang dengan senyum di wajahnya.

"Bhalendra," ucap Dhara ketika melihat Bhalendralah orang pertama yang hadir.

Pria itu dengan polosnya mengambil kacang dan memasukannya ke dalam mulutnya.

"Apa aku pria pertama yang datang?"

"Mama tidak heran, jika kamu orang yang pertama datang Bhalendra," jawab Haniya kembali duduk.

Lalu pintu besar itu terbuka lagi, mereka semua otomatis berdiri dan terkejut bersamaan.

"Arsya?"

Arsya terlihat heran dengan semua orang yang menyebut namanya bersamaan.

"Apa kalian berunding untuk menyebut namaku?" tanya anak tertua itu heran.

"Ini terlalu pagi untukmu hadir, Arsya." Haniya heran dengan anak pertamanya itu. Ia biasanya akan sibuk di ruangan kerjanya.

"Yah, setidaknya aku harus melihat, pria mana yang beruntung mendapatkan adikku?"

"Tentu saja, kamu harus melihatnya," kata Dhara. "Caiden mungkin akan terlambat seperti biasa."

Caiden memasuki ruangan dan kembali membuat semuanya terkejut.

"Yah, sayang sekali, Dhara. Tidak untuk hari ini," ucapnya dan duduk di samping adiknya. Memakan kue lapis yang terletak di atas meja dengan santai.

Dhara menghela napas. Ketiga kakaknya berada di sini. Maka tidak ada pilihan selain mengikuti kemauan mereka.

Seorang pelayan mengetuk ruangan duduk mereka. "Tuan Bhalendra, ada karangan bunga yang baru saja tiba atas nama Anda."

Bhalendra melompat dari kursinya dan segera mengambil karangan bunga mawar merah dan putih yang dibawakan oleh pelayannya itu.

"Terimakasih, Mariya."

Kepala pelayan itu menunduk sopan dan segera keluar. Bhalendra duduk di samping adiknya dan bertanya. "Menurutmu mawar merah atau mawar putih?"

Dhara bersedekap, "Kamu ingin menyatakan cinta atau simpati?"

"Cinta, Dhara."

"Merah."

"Kenapa tidak putih? Aku menyukai mawar putih," kata Bhalendra menunjukkan buket penuh berisi mawar putih.

Dhara menghela napasnya, "Kamu ingin menyatakan cinta bukan? Mawar merah melambangkan cinta, Bhalendra. Sedangkan mawar putih melambangkan simpati atas bela sungkawa atau menyambut hari pernikahan."

Bhalendra ber-oh ria dan meninggalkan Dhara, "Terima kasih kalau begitu, adikku. Aku akan pergi sebentar, sampai bertemu makan malam nanti." Sebelum itu ia mencium kening adiknya dengan penuh kasih sayang.

"Sepertinya Bhalendra akan mendatangi, Nona Kieran lagi, Mama." Caiden melirik ibunya.

"Jika ia terus seperti ini, maka Nona Kieran akan sulit mendapatkan pelamarnya. Mereka seperti berteman, tetapi Bhalendra menaruh perhatian lebih kepada wanita itu. Jika Bhalendra hanya menganggapnya teman dan Nona Kieran menganggap perhatian itu lebih dari sekedar teman. Maka Bhalendra telah menyia-nyiakan waktunya." Haniya menghela napas dan memijat pelipisnya.

"Kapan ia akan melamar Nona Kieran, Mama?" tanya Dhara kepada ibunya.

"Aku tidak tahu, sayang. Bhalendra itu sulit di tebak. Padahal ia adalah satu-satunya orang yang sangat perhatian di keluarga ini." Haniya melirik Arsya dan Caiden sebagai sindiran.

"Aku juga orang yang hangat, Mama. Ingin merasakan pelukanku?" Caiden kepada ibunya dan memeluknya.

Haniya sedikit menolak, tetapi ia tetap membalas pelukan anak kesayangannya itu. Dhara tersenyum melihat interaksi Caiden dan ibunya. Sementara Arsya terlihat cukup sibuk dengan koran paginya.

Pintu besar dengan ukiran rumit itu lagi-lagi terbuka. Pria pertama yang berkunjung adalah Tuan Tripatro.

"Ada tamu untuk Nona Abrata." Kepala pelayan itu menunduk sopan. Haniya dan anak-anaknya sontak berdiri dan menyambut kedatangan pria itu.

"Nona Abrata," sapanya hangat.

Dhara tersenyum dan Haniya mempersilahkannya duduk di atas kursi.

"Senang bisa bertemu denganmu langsung, Nona Abrata." Ia memberikan bunga yang dibawanya kepada Dhara. Dhara tersenyum dan merimanya.

"Terimakasih, Tuan Triparto. Kamu baik sekali," jawab Dhara. "Bagaimana kabarmu?"

Tuan tripatro melirik sekilas kepada kakak-kakak Dhara dan menyapa mereka. Haniya terlihat canggung dan merasa cemas.

"Cukup baik sampai hari ini, Nona Abrata. Bagaima denganmu?"

"Aku juga cukup baik, Tuan Triparto."

Tuan Triparto mengambil kue basah itu dan memasukannya ke dalam mulutnya. Caiden menatap setiap pergerakan pria itu dengan mata tajamnya.

"Nona Abrata bagaimana dengan hobimu? Apa kamu suka berkuda?" tanyanya sambil melirik ke arah Caiden yang berada di depannya. "Tuan Abrata, apakah ada yang salah?"

Caiden menyungging senyumnya, membawa tangannya ke belakang.

"Kamu menduduki kursiku, Tuan Triparto." Tunjuknya.

Seketika Tuan Triparto mendapatkan beribu besi sepuluh kilogram terjatuh di atas kepalanya. Ia mengangguk hormat kepada tuan rumah itu. Caiden menduduki kursinya, menatap Tuan Triparto dan pintu keluar secara bergantian.

"Saya permisi, Nona Abrata."

***

Bersambung...

Raden Mas Dan Aku-Tamat | Abrata Series #01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang