BAB 47 - Akan Selalu Mencintainya

1.5K 152 0
                                    

Pagi itu, entah dewa telah mendengar doa hambanya, atau keberuntungan tengah menyelimuti Akkadiamadjantara. Langit begitu cerah, sinar matahari memasuki celah-celah kayu di rumah yang membawa kehangatan setelah sekian lama dibasahi oleh hujan.

Dhara memasuki ruangan yang belum pernah ia sentuh sebelumnya. Di rumah pondok Hartigan, terapat sebuah kamar yang sebelumnya belum dilihatnya. Kamar itu remang dengan cahaya matahari yang minim. Dhara menyibak semua kain yang menutupi perabotan di kamar itu dan ia menemuka meja dengan laci yang banyk, penuh dengan kertas atau surat yang memang sengaja di letakkan di sana.

Dhara membuka salah satu surat, membacanya dan menyadari bahwa itu merupakan surat Hartigan yang ia tulis ketika ia masih kecil.

Surat pertama

Aku adalah Raden Mas Hartigan, aku berhak tinggal di istana bersama bapak dan ibu. Tetapi kenapa aku di asingkan?

Surat kedua

Biarkan aku makan malam bersama kalian. Bukankah ibu orang pertama yang memanggilku dengan sebutan Raden Mas Aku menyukai panggilan itu, berarti aku adalah bagian dari anggota kerajaan. Aku juga ingin bersama kalian.

Surat ketiga

Kepada bapak, Raja Akkadiamadjantara Yang Terhormat. Aku Raden Mas Hartigan Badjradakkawirya meminta izin untuk dapat bertemu denganmu. Aku ingin sekali bermain di istana bersama Pangeran Arya. Izinkan aku untuk memasuki istana, kenapa aku di asingkan? Rumah pondok sangat sepi, tidak ada orang kecuali Bakrie dan ibunya. Nyonya Widjaja hanya kemari seminggu sekali, aku sangat kesepian... izinkan aku masuk ke dalam istanamu Yang Mulia...

Raden Mas Hartigan

Dhara menutup surat itu dan tanpa ia sadari dadanya terasa seperti di remas. Hartigan sangat menginginkan bersama keluarganya tetapi kenapa mereka mengasingkannya di sini? Pria itu pasti terluka di dalam sana, di dalam lubuk hatinya ia pasti merindukan kehangatan dan kasih sayang keluarga. Bayangkan anak kecil yang menulis surat ini begitu kesepian, diasingkan di rumah pondok yang jauh dari istana.

Dhara mengusap sudut matanya dan ia menangkap Kawina yang sedang berdiri di daun pintu menatapnya dalam.

"Yang Mulia..." sapa Dhara lembut.

"Kamu tidak perlu menunduk, Dhara." Mata Kawina menatap tangan Dhara yang memegang surat-surat yang Hartigan tulis. "Maafkan aku menganggumu di sini. Tetapi aku tidak dapat menemukanmu di teras."

"Ah iya, dalem ingin merenovasi rumah ini. Jadi dalem melihat semua ruangan yang mungkin bisa diperbarui," jawab Dhara sopan.

"Itu pasti surat yang ditulis oleh suamimu." Kawina menunjuk surat itu dan Dhara mengangguk. "Aku memang tidak pernah ikut campur dalam urusan rumah tangga anakku. Tetapi semenjak ia mati, anaknya mati dan hanya menyisakkan satu anak laki-laki yaitu Raden Mas Hartigan. Aku mulai resah dan berusaha untuk peduli kepada keluargaku."

"Raden Mas Hartigan sedari dulu selalu sendiri. Bahkan aku melihatnya dapat melakukan apapun dengan dirinya sendiri jadi aku tidak terlalu peduli kepadanya. Aku malah khawatir dan terlalu memanjakan Pangeran Arya. Dia sangat berbeda dengan Raden Mas, Pangeran Arya selalu sakit, bahkan jikapun ia sehat bertahan hanya sampai dua hari saja. Dia selalu di kelilingi oleh kasih sayang dan cinta. Sementara Raden Mas Hartigan di asingkan di sini."

Kawina membereskan surat itu satu persatu dan berkata dengan lembut, "Aku juga mengetahui satu hal yang coba disembunyikan oleh anakku kepada cucuku itu. Bahwa dia sangat mencintai mendiang Inah, ibu dari Raden Mas Hartigan. Dia tidak bisa melihat Raden Mas karena itu hanya akan membuatnya mengingat Inah dan merasa bersalah kepada wanita malang itu."

"Kecemburuan itu memang tidak memandang bulu, ia kejam sampai dapat menyulut seseorang untuk membunuh."

Kawina menyuruh Dhara untuk duduk bersamanya di ranjang ada di sana. "Aku juga sadar setelah melihat Raden Mas ku yang sudah beranjak dewasa kemarin malam. Dia marah kepadaku, sangat marah. Aku tidak pernah melihat dia marah sebelumnya, dia selalu memendamnya sendiri. Tetapi malam itu ketika dia mendengar kabar bahwa kamu mengalami pendarahan. Dia memarahiku, meneriakiku, dia mengatakan jika kamu kenapa-napa itu adalah salahku. Jika anak kamu mati, itu adalah salahku." Kawina memandang lurus ke depan.

"Memang seharusnya salahku, sedari dulu seharusnya itu salahku. Salahku yang terlalu apatis terhadap keluargaku, salahku tidak bertindak ketika cucuku di asingkan. Salahku tidak melakukan apa-apa." Kawina memandang Dhara dan mengenggam jemari hangat wanita itu. "Kini aku ingin menebus semua kesalahan itu, aku menginginkan kebahagiaan bagi Raden Mas ku yang sekarang sudah menjadi Raja dan akan menjadi seorang ayah. Biarkan aku untuk menjadi saksi bahwa kamu akan selalu berada di sisinya, dalam susah maupun senang, dalam sehat maupun sakit, mencintainya, menghargainya selama kalian hidup bersama. Bisakah?"

Dhara terisak pelan dengan genggaman yang mengerat kepada Kawina. "Dalem bisa, dan akan selalu bisa untuk mencintainya, Eyang?" jawab Dhara lembut.

Bibir Kawina terangkat sempurna, ia memberikan cincin yang pernah dia tunjukkan kepada Hartigan. "Seharusnya ini menjadi milikmu sedari dulu."

"Cincinnya indah sekali," puji Dhara menerima cincin itu dengan haru.

"Semua istri Sang Raja harus memakai cincin itu. Dan ketika anakmu nanti menikah berikan dia juga cincin ini." Kawina memeluk hangat Dhara. Dia pikir cukup untuk menjadi apatis dan mulai memperlakukan keluarganya dengan baik. Mereka sudah cukup menderita dan kesalahpahaman sudah usai.

Musim hujan yang tiba-tiba sudah berlalu, seperti mengerti bahwa Akkadiamadjantara sekarang telah berdamai dengan dirinya sendiri. Sinar matahripun tampak tak malu muncul menghangati Akkadiamadjantara lagi.

***

bersambung...

Raden Mas Dan Aku-Tamat | Abrata Series #01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang