BAB 11 - Pergelaran Wayang

1.3K 172 1
                                    

Keluarga Abrata mendapatkan undangan pergelaran wayang di Madjakarta, Ratu Isyana hanya memperbolehkan dua orang mewakili keluarganya untuk hadir menyaksikan pergelaran wayang yang hanya ditampilkan sekali dalam setahun. Pergelarannya begitu megah yang dibuka oleh para penari Madjakarta yang ayu. Iringan gamelan dan alat musik tradisional lainnya mengalun bersamaan dengan suara sinden yang membuat suasana semakin intim.

Arsya memastikan ibu dan adiknya sebelum mereka naik ke atas kereta kuda mereka.

"Aku telah memastikan tempat duduk kalian, sebenarnya Caiden yang mengaturnya." Arsya mencium punggung tangan ibunya. "Pastikan Dhara berbicara dengan pria mapan, Mama. Jangan biarkan dia berbicara dengan pria berhutang, mengerti adikku?"

Haniya menaiki kereta kuda dan tersenyum kepada Arsya.

"Baik, Arsyanendra. Semua perkataanmu Mama mengerti, kami akan pergi sekarang."

Arsya mengangguk dan memandangi kepergian mereka.

Sesampainya di gedung pergelaran, Haniya membawa Dhara bersamanyaa. Semua mata tertuju kepada kedua orang itu. Haniya tersenyum kepada semua relasinya selagi mnecari tempat duduk yang telah di tentukan oleh Arsya.

"Nyonya Abrata, bergabunglah bersama kami," panggil Nyonya Widjaja di antara kerumunan Ratu Isyana.

"Dhara ayo nak," ajak Haniya kepada anaknya.

"Ratu Isyana," ujar Haniya sopan menunduk kepada Sang Ratu diikuti oleh anaknya.

"Melati Suciku?" Ratu Isyana membuka dirinya di samping pelayan pribadinya.

"Kecantiknamu memang telah menyihirku, tetapi aku ragu. Bagaimana bisa kamu masih belum mendapatkan pelamar?" Ratu Isyana tersenyum remeh bersama dengan pelayan pribadinya, menertawakan wanita muda malang itu.

Nyonya Widjaja menarik Haniya menjauh dari Sang Ratu.

"Nyonya Abrata, mari duduk di tempatku." Kini wajahnya berpaling kepada Dhara. "Jangan pikirkan perkataan Sang Ratu, Nona Dhara. Ia memang tidak mengerti bagaimana menjadi wanita muda yang sangat dilindungi."

Mereka duduk dengan diam, menyaksikan pergelaran wayang yang mnegangkat kisah Sang Ratu dan raja-rajanya. Dikisahkan seorang anak tunggal dari kerajaan Madjakarta yang kesepian. Tidak memiliki orang tua dan tidak memiliki saudara, 82 tahun hidupnya ia hanya didampingi oleh pelayan dan pengawal pribadinya.

Semua orang yang berada di istana sangat menghormatinya, menyanjungknya sebagai penguasa tertinggi di Batavia. Bahkan seorang presiden pernah dijadikannya sebagai Raja. Namun, pupus di tengah waktu karena Sang Raja wafat. Ia menikah lagi dan lagi, tak ada satupun yang bertahan. Kisahnya sangat pilu, tetapi ia terus mencari cinta sejatinya tanpa pamrih. Penguasa manapun yang sedang mendekatinya akan ia jadikan sebagai pendamping hidupnya, hanya seseorang yang berkuasa yang boleh menjadi suaminya.

Sang Dalang, memainkan tokoh-tokoh itu dengan nama yang disamarkan, karena tidak ada satupun masyarakat yang mengetahui bahwa Sang Ratu telah kehilangan raja-rajanya. 

"Lihatlah ia, sangat angkuh dengan gelarnya. Sebentar lagi, ia akan menikah lagi," bisik Nyonya Widjaja kepada Haniya. Ibu enam orang anak itu menoleh terkejut.

"Menikah lagi? Bukankah Sang Raja tengah sakit?"

"Kalian semua tertipu oleh bualannya. Setiap pria yang menikahi Sang Ratu, pria itu akan mati dalam hitungan minggu," bisik Nyonya Widjaja lagi.

Haniya benar-benar terkejut, ia baru mengetahui hal ini. Nyonya Widjaja benar-benar memiliki koneksi yang kuat, pikirnya.

"Sepertinya ia mendapatkan kutukan," ujar Nyonya Widjaja menakut-nakuti Haniya.

"Kutukan?"

"Semacam ada sihir yang diberikan kepada wanita tua malang itu." Nyonya Widjajaa mendekatkan bibirnya ke telinga Haniya. "Ia selalu membicarakan hal buruk mengenai orang-orang."

"Ia juga mengatakan hal buruk mengenai anakku," jawab Haniya kesal.

"Ia bahkan membicarakan Raden Mas yang belum juga menikah di usianya yang sudah pantas memiliki dua anak."

"Ia juga meragukan keabsahan anak-anakku, Nyonya Widjaja. Padahal sudah jelas mereka mewarisi darah pribumi dariku, bahkan sangat kental. Walaupun orang-orang tetap akan melihat mereka sebagai Indo, tetapi dimataku mereka adalah anak-anak pribumi. Dimana mereka lahir, disitulah tanah air mereka, " ujar Haniya melirik ke arah Ratu Isyana yang tengah fokus menyaksikan pertunjukan wayangnya.

Nyonya Widjaja menyungging senyumnya. "Mereka memiliki kesamaan, sama-sama tidak beruntung. Bahkan orang yang tidak memiliki kesamaan pernah dijodohkan."

Haniya melirik wanita yang sudah berumur itu dengan menyipit. "Raden Mas dan Dhara?"

Nyonya Widjaja berdeham dengan senyum nakalnya. "Ratu Isyana akan melihat apa yang ia ingin lihat. Semua rumor mengenai Nona Dhara akan tersebar esok, karena keraguan Sang Ratu. Mengapa wanita secantik Nona Dhara belum menikah juga? Apakah ia memiliki kecacatan, sehingga tidak ada satupun pria di Batavia yang melamarnya? Melati Suci... mungkinkah itu hanya tipu daya keluarga Abrata agar mendapatkan perhatian publik?"

Haniya membuka mulutnya tidak percaya dengan apa yang baru saja Nyonya Widjaja katakana.

"Kehidupan bersosial itu kejam, Nyonya Abrata. Sekali kamu mendapatkan perhatian, beribu kali kamu mendapatkan cacian. Ratu Isyana tidak tinggal diam, ia akan menguntungkan dirinya sendiri dengan menyebarkan berita itu. Ia tidak ingin dianggap salah karena telah memilih Nona Dhara sebagai acuan debutan mutlak." Nyonya Widjaja berdeham, "Raden Mas menyukai dawet sebagai hidangan penutup."

"Dawet adalah hidangan penutup terbaik dari juru masak kami," ujar Haniya. "Bagaimana jika Raden Mas makan malam di rumah kami, Nyonya Widjaja?"

"Bagus sekali, aku akan menerima undangan makan malamnya kalau begitu. Aku akan katakan kepada anak keras kepala itu untuk hadir," kata Nyonya Widjaja kepada Haniya.

***

bersambung...

Raden Mas Dan Aku-Tamat | Abrata Series #01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang