BAB 21 - Berita Panas

1.3K 141 1
                                    

Haniya menyiapkan makan siang beserta dengan kue-kue kesukaan Nyonya de Jongh. Wanita yang sudah berkeriput itu memasukkan gudeg ke dalam mulutnya sambil terus berbicara. Sementara Haniya terus melirik Mariya yang harus menjalanka tugasnya.

"Nyonya Abrata, dimanakah calon menantuku? Sedari tadi aku tidak melihatnya," ujar Nyonya de Jongh melirik sekitar dan tidak menemukan perempuan itu disana.

"Nyonya de Jongh, kamu pasti sangat khawatir dengan Dhara. Ia berada di pendopo. Anak perempuanku harus berlatih menari agar ia mahir jika nanti di dalam pesta ia harus menari. Jadi ia tidak perlu bersembunyi dari para pria yang ingin menari bersamanya."

"Tentu saja ia harus pandai menari dan berdansa. Seorang wanita bangsawan harus memilki keahlian itu agar mejaga tubuh indah mereka." Nyonya de Jongh masih dengan memakan gudegnya. "Aku sangat menyukai ini, apa nama masakan ini?" tanyanya dengan aksen khas.

"Gudeg, Nyonya de Jongh. Makanan ini bernama gudeg. Makana ini asli dari Djogjakarta, mendiang suamiku sangat menyukainya, jadi aku pikir rasanya mungkin tidak menganggu lidah kalian," ucap Haniya menyodorkan piring yang berisi gudeg lagi. Karena Nyonya de Jongh baru saja menghabiskan piring keduanya.

"Oh, maafkan aku Nyonya Abrata. Ketika aku menyukai suatu makanan, aku akan memastikannya habis tak tersisa." Nyonya Belanda dengan rambut kuning keputihan itu meletakkan sendoknya dan mulai memakinya menggunaan tangan. "Aku pernah melihat kalian makan menggunakan tangan, aku akan mencobanya."

Haniya meneguk salivanya, "Ya, tentu saja. Dengan tangan lebih nikmat."

"Tentu saja, silahkan dihabiskan, Nyonya de Jongh." Haniya menawarkan sepiring gudeg lagi dihadapannya.

"Nyonya Abrata, aku tidak akan menyesal jika Ruruch ku menikah dengan Nona Abrata. Ia pasti mendapatkan cukup nutrisi, dan lihatlah semua makanan ini. Aku yakin anak mereka nanti akan sehat-sehat." Nyonya de Jongh sangat bersemangat sampai ia meminum habis minumannya sekali teguk. "Aku jadi tidak sabar menimang cucu," sambungnya sambil terkikik.

"Iya Nyonya de Jongh. Aku juga tidak sabar." Haniya tertawa hambar. "Tidak sabar menunggu hasilnya," sambungnya bergumam pada diri sendiri.

"Terimakasih atas jamuan makannya, Nyonya Abrata. Kamu baik sekali jarang ada Nyonya rumah seperti dirimu," puji Nyonya de Jongh.

"Ah, kamu terlalu menyanjungku, Nyonya de Jongh. Semua Nyonya sama, mereka akan memperlakukan tamu mereka layaknya raja."

Nyonya de Jongh menggeleng, "Emm, tidak. Kamu Nyonya rumah terbaik."

"Madam, waktunya memandikan Freedy." Pelayan pribadi Nyonya de Jongh menunjuk arloji gantungnya.

Nyonya de Jongh sedikit kecewa ia menghadap Haniya dengan sedih. "Sayang sekali aku harus pulang. Freedy membutuhkan aku sekarang. Sekali lagi, terimakasih Nyonya Abrata. Aku menunggu undangan makan lainnya."

Haniya mengangguk dan mengantar kepulangan Nyonya belanda itu. Haniya kemudian bertanya kepada Mariya. "Apakah mereka mempunyai anak bungsu yang masih bayi?"

Mariya berdeham Dan berbisik kepad majikannya. "Freedy adalah nama anjing mereka, Nyonya."

"Oh, aku pikir," ucap Haniya lalu masuk ke dalam rumahnya kembali. "Apa yang kalian dapat, Mariya."

Mariya dengan sumringah berkata kepada Haniya, ia menceritakan inforasi yang ia dapat dari pelayan pribadi Nyonya belanda itu.

"Mereka mengatakan bahwa Tuan de Jongh memiliki seorang istri pribumi dan anak yang berumur lima tahun. Ia tidak menafkahi mereka."

"Tidak mungkin." Haniya menutup mulutnya.

"Apa yang tidak mungkin, Mama?" tanya Dhara yang baru saja sampai dirumahnya. Ia memberikan selendangnya kepada Warni, pelayan pribadinya. Sementara Caiden meminta pelayannya untuk mengompres luka-lukanya.

"Kita mempunyai cara agar pernikahanmu dan Tuan de Jong dibatalkan."

"Aku akan membatalkannya, Mama."

"Caiden," tegur Dhara agar ia tidak perlu memberikan alasannya kepada ibu mereka. Dhara tidak ingin ibunya mengkhawatirkannya.

"Ada apa dengan wajahmu, Caiden?" ucap Haniya khawatir.

"Maafan aku, Mama. Aku tidak apa-apa ini tidak seberapa dengan yang Dhara alami," ujar Caiden lagi sebelum ia benar-benar diobati.

"Apa yang bisa kita lakukan, Mama?" tanya Dhara lagi.

"Baruch de Jongh, memiliki istri pribumi dan seorang anak yang tidak dinafkahinya, Dhara." Haniya berkata dengan jelas kepada anaknya.

"Apa itu benar?" tanya Dhara meyakinkan.

"Tentu saja, sayang."

"Dan bagaimana cara agar kita memberitahu pemerintahan Eropa untuk membatalkannya. Jika itu alasannya, mereka mungkin tidak akan percaya dengan kita, Mama. Apalagi kita adalah seorang perempuan."

"Kita akan berhasil, Dhara. Perempuan pintar dalam hal ini," kata Haniya dengan senyum sumringahnya. "Gossip," sambungnya.

"Lantas siapa orang yang dapat menyebarkannya sampai ke orang-orang Eropa itu, Mama? Mereka tidak akan percaya."

"Mungkin mereka akan percaya jika seseorang menuliskannya di artikel. Seseorang yang ahli dalam membuat berita panas dan kontroversial," ujar Haniya sangat yakin sampai matanya berbinar.

Maximillian Tanjoeng, duduk dengan mesin tik nya di ruang duduk elegan keluarga Abrata. Sementara Nyonya Abrata mendikte apa yang harus dituliskan pria itu. Dhara duduk dengan cemas semoga saja rencana ini dapat berhasil, sehingga dia dapat terhindar dari pernikahannya dengan Tuan de Jongh.

Haniya selesai mendikte dan membiarkan Tuan Tanjoeng berimajinasi merangkai kata demi kata dan menyelesaikannya dengan cepat. Pintu besar berukiran rumit itu terbuka. Arsya dan Bhalendra baru saja kembali dari perjalanan mereka, dan betapa terkejutnya mereka melihat Tuan Tanjoeng tengah berada di ruang duduk elegan keluarga mereka.

"Tuan Abrata," hormat Tuan Tanjoeng kepada keduanya.

"Tuan Tanjoeng, kamu benar-benar ada di sini dalam waktu lima menit," ucap Arsya takjub, sedangkan Bhalendra menggeleng tidak percaya.

Tuan Tanjoeng tersenyum penuh arti,  "Aku adalah seorang jurnalis, Tuan Abrata."

***

Bersambung...

Raden Mas Dan Aku-Tamat | Abrata Series #01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang