BAB 19 - Fakta

1.1K 159 1
                                    

Hartigan mengamati setiap pergerakan Dhara yang sedang berlatih tari di pendopo Madjakarta. Ia tidak dapat menahan senyumnya ketika melihat perempuan itu tertawa karena kesalahannya. Banyaknya perempuan muda lainnya membuat Hartigan sangat menikmati harinya. Ia tahu mereka tengah memandangnya, maka dari itu ia tidak segan untuk menatap satu persatu dari mereka dengan intens.

Hartigan tidak sendiri, Caiden juga ikut menemani adiknya karena dalam hitungan hari, adiknya itu akan menikahi seorang Olanda yang sudah lama memendam rasa kepadanya. Caiden dengan serius mengamati tarian adiknya, ia sesekali berdecak kesal karena kesalahan yang dibuat oleh adiknya itu.

"Apa kamu tidak akan berhenti berdecak, Abrata?" tanya Hartigan dengan tatapan yang masih fokus kepada melati sucinya.

Caiden melirik sekilas ke arah Hartigan. "Apa kamu tidak akan berhenti menatap adikku, Raden Mas?"

Hartigan tertawa pelan, "Tidak ada yang bisa menolak pesona adikmu, Abrata."

"Jangan dekati dia, Raden Mas. Ini perintah," ujar Caiden mengucapkannya dengan serius.

"Perintahmu, dengan senang hati ku tolak."

"Raden Mas, aku begini karena dia adikku dan aku sangat mengenalmu. Kamu tidak akan menikahi perempuan di luar istana Antawirya. Aku mengetahuimu, tradisi keluargamu seperti apa, dan kamu tidak boleh melanggarnya," desis Caiden.

Hartigan tertawa pelan, mengusap rahangnya yang ditumbuhi janggut tipis.

"Mengapa kamu sangat mengenalku, Abrata? Tradisi itu akan kuubah ketika aku naik tahta."

Caiden menyipitkan matanya, "Apa maksudmu, Raden Mas?"

"Aku pikir kamu mengenalku," jawab Hartigan santai. "Tidak lama lagi, aku akan dipanggil ke Akkadiamdjantara. Menghadap Arya, karena ia tidak bisa memimpin kerajaan disaat dirinya sendiri tengah sakit parah."

"Aku tidak mengerti," geleng Caiden. "Bukankah kamu telah bersumpah tidak akan menikah?"

"Aku bersumpah untuk tidak akan pernah menikah dengan perempuan Akkadiamdjantara."

Caiden mendecih, "Lagipula itu tidak akan pernah terjadi."

"Apa?" tanya Hartigan menghadap Caiden.

"Kamu dan Dhara, itu tidak akan pernah terjadi."

"..."

"..."

"Apa kamu benar akan memberikan adikmu kepada Baruch de Jongh?" tanya Hartigan dengan khawatir.

"Tentu saja, jika aku tidak melakukannya. Tuan de Jongh yang akan menyakitiku wanitaku," jawab Caiden cemas.

Hartigan bersedekap di hadapan Caiden. "Aku tahu ini akan mengarah kemana."

"..."

"Ratna, pesinden yang menjadi kekasih gelapmu itu. Ia pasti melakukan sesuatu kepada Baruch de Jongh sehingga kamu yang harus membayarnya," ujar Hartigan tepat sasaran. Caiden terdiam tidak berkutik.

"Kamu terlalu buta oleh cintanya, Caiden. Banyak diluar sana wanita bangsawan yang bisa kamu kencani. Kenapa pesinden itu? Ia memerasmu, tetapi kamu terlalu takut untuk berpikir bahwa ia sengaja melakukannya, jadi kamu berpikir bahwa ia melakukannya karena kamu mengizinkannya. Merelakan adikmu, yang masih suci dan naif diperistri oleh Olanda kotor itu?" Hartigan mengatakannya dengan tertahan karena amarahnya. "Caiden, aku kasihan kepadamu."

"Jangan katakana itu, Raden Mas. Kamu telah menghinaku."

"Kamu tahu penghinaan terbesar Caiden? Kakak laki-laki yang memberikan adiknya kepada pria yang tidak dicintainya hanya untuk keperluan kakak laki-lakinya yang egois." Hartigan menarik kerah baju Caiden, "aku pernah mendengar kalimat dari temanku. Menikahlah karena kalian saling mencintai, jangan menikah demi kepentingan. Apakah itu kepentingan keluargamu atau kepentingan orang lain."

Caiden merasa tertampar oleh perkataan Hartigan kepadanya. Tetapi rasa cintanya kepada Ratna menutupi hatinya yang seharusya melindungi adiknya.

"Aku turut prihatin dengan teman bodohmu, Raden Mas. Ia tidak tahu bahwa betapa pentingnya menikah demi kepentingan." Hartigan tanpa sadar menonjok Caiden di depan semua orang yang tengah istirahat dari latihan menari mereka. Dhara membulatkan matanya dan berjalan cepat ke arah keributan.

"Maka kamulah orang bodoh itu, Abrata!"

Caiden melawannya ketika pukulan demi pukulan yang dilayangkan Hartigan kepadanya.

"Raden Mas?! Caiden?!" teriak Dhara mendekati mereka. "Raden Mas, berhenti!"

"Ku mohon hentikan," cicit Dhara tertahan. Ia menutup mulutnya tidak kuat melihat kakak lelakinya dipukuli hingga babak belur oleh Hartigan.

Dhara lalu menarik tangan Hartigan dari kakaknya. "Lepaskan tanganmu, Raden Mas."

"Dhara, kamu pikir bisa membiarkan kakakmu untuk kali ini? Biarkan aku menendangnya untukmu, ia tidak mengerti kamu." Hartigan bersikukuh untuk tetap memukul Caiden tetapi tertahan karena tangan perempuan itu masih menahannya denga gelengan kecil, menunjukkan matanya yang berair siap menumpahkan emosinya.

"Dia kakakku, Raden Mas. Ia lebih..." ucapan Dhara tertahan.

"Dhara, dengarkan aku. Kamu tidak mengerti perjanjian diantara orang dewasa." Baru saja Caiden berbicara, Hartigan menendangnya sampai ia tersungkur.

"Ia tidak akan mendengarmu, disaat kamu memberikannya kepada orang yang telah melecehkannya." Rahang Hartigan mengeras.

Caiden menataap adiknya dengan iba, sementara Dhara memejamkan matanya mengetahui perkataan Hartigan yang tidak di harapkannya.

"Kenapa kamu tidak mengatakannya, Dhara?" Caiden berusaha bangkit mendekati adiknya. Dhara menepis tangan kakanya yang akan menyentuhnya.

"Aku telah memperingatimu," ujar Dhara pelan.

Caiden menggeleng. "Aku harus menemui keparat itu," ucap Caiden penuh penekanan dan ia sangat marah. 

***

Bersambung...

Raden Mas Dan Aku-Tamat | Abrata Series #01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang