EPILOG

2.6K 164 14
                                    

Abrata Dhara, namanya sangat dikenal beberapa bulan lalu karena kecantikan tanpa celahnya yang membuat para debutan iri kepadanya. Mewarisi darah Eropa dari ayahnya tetapi tidak sekental darah pribumi dari ibunya yang sangat ayu. Campuran itu membuat Abrata Dhara lebih unggul daripada wanita Batavia lainnya.

Lahir dari keluarga harmonis, saling penyayang dan tanpa konflik—membuat Abrata Dhara menginginkan keluarga serupa untuknya. Di hari pernikahannya yang tidak memiliki kesan mendalam selain rasa cemas dan takut. Kali pertama wanita itu mengetahui adat yang kental dan perbedaan budaya yang menentang. Bahwasanya Eropa haruslah bersama Eropa dan pribumi dengan pribumi lainnya.

Namun, bagaimana nasib para Indo yang merasa sangat superior dengan gen Eropa mereka tapi tidak diterima oleh Eropa tok-tok dan dianggap asing oleh Indo. Nasib lahir dari keluarga yang berbeda, tentu saja kamu tidak akan pernah sama dengan mereka, kecuali salah satunya mengalah dan jatuh cinta.

Cinta itu buta. Telah banyak priyayi mengatakan bahwa ketika jatuh cinta, manusia akan buta, tuli, dan tidak dapat berpikir jernih. Titik lemah inilah yang berhasil mempertemukan kedua ras berbeda menjadi satu kesatuan—pasangan hidup.

Ketika kamu telah memilih untuk mencintainya. Tidak ada alasan lain yang kamu dapatkan selain mencintai. Manusia hanya tahu satu kesalahan dan melupakan seribu satu kebaikan. Seperti cinta itu buta. Manusia sadar ketika cinta itu berkhianat.

Abrata Dhara takut akan kekhianatan itu. Ketakutan terbesarnya—dimadu.

Bagaimana jika janji yang telah di ikat itu, datang satu keraguan yang membuat ikatan itu melonggar. Abrata Dhara harus melepaskannya atau mengikatnya lebih kencang? Semua keputusan bukan ditangannya, melainkan adat dari suaminya. Namun semuanya telah di atur oleh Sang Pengatur.

Sekuat apapun kamu mencoba jika dia bukan takdirmu maka kendimu tidak akan pecah untuknya.

Sebutir biji jagung tumbuh di batang yang sedang membusuk. Abrata Dhara selamat dari keterpurukan poligami dan mendapatkan belahan jiwanya—Hartigan Bajradakawirya.

Anak adalah penyelamat sekaligus anugrah bagi kedua orang tuanya, itu yang Abrata Dhara dapatkan dari perjalan hidupnya yang penuh cerita.

Kelahiran Putra Mahkota kerajaan Akkadiamadjantara di malam purnama malam itu penuh dengan ironi. Teriakan kencang menggelegar di seluruh lorong-lorong istana. Konon kelahiran anak pertama adalah kelahiran yang sangat ditunggu dan rentan. Tubuh kecil yang sedang mengejan itu mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mendorong calon pemimpin baru mereka, bayi suci yang bersih dari dosa.

"Hartigan aku tidak bisa," lirih Dhara menatap suaminya lemah. Hartigan yang terlihat sangat khawatir di sisinya terus mencium punggung tangan wanita itu.

"Kamu bisa melakukannya, Dhara. Kamu wanita hebat, kamu dapat melaluinya. Hany satu dorongan lagi, seperti kata tabib."

Satu dorongan kencang itu berhasil mengeluarkan calon penguasa paling indah yang pernah mereka lihat. Tangisannya memekakkan telinga, kakinya menendang kuat, warna tubuhnya memerah. Bayi kecil itu mencari ibunya selagi tabib memotong tali pusarnya.

"Selamat, Yang Mulia. Anak laki-laki yang sehat." Tabib tersebut menidurkan bayi mungil itu di pelukan ibunya.

"Selamat datang," bisik Dhara lemah.

"Ingin menamainya?" tanya Hartigan dengan haru. Kebahagiaannya tidak dapat dia gambarkan—betapa bahagianya ia. Air matanya sampai menetes menyambut putra pertamanya.

"Kamu saja yang memilih namanya," bisik Dhara kepada suaminya. Dhara tertawa pelan melihat wajah Hartigan yang menangis.

"Kita mempunyai tradisi bukan?" Hartigan mulai memberikan nama putranya dengan membisikannya di telinga nak tersebut, "Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangku Negara Sudibya Rajaputra Narendra ing Akkadiamadjantara, Agha Abbiyya Kama Ragnala Bajradakawirya. Bayi suci yang berani, dipuja dengan kasih sayang oleh seluruh rakyat Akkadiamadjantara." Hartigan mengecup pipi kemerahan yang cukup lembut itu dengan pelan.

Kelahirannya disambut dengan sangat megah. Seluruh hasil panen diberikan dengan acara penyambutan yang diadakan tiga hari tiga malam. Tabuhan gong, suara gamelan terus terdengar. Para penari menarikan tarian penyambutan disetiap pagi bayi itu dibawa keluar untuk mengenalkannya kepada rakyatnya.

Berharap akan menjadi anak yang dapat menjadi pemimpin yang bijaksana dan hebat di masa yang akan datang.

"Selamat cucuku, aku bersyukur masih dapat melihat anakmu sebelum kematianku," ucap Kawina kepada kedua orang tua baru itu.

"Eyang ingin dipanggil apa?" tanya Hartigan kepada Kawina dengan gurauannya

Kawina berdeham dan mendekat ke bayi mungil itu lalu berkata, "Cukup panggil aku Uti. Jadilah anak yang patuh kepada orang tua dan selalu tahu dimana kamu seharusnya berada."

Kecupan kecil itu membuat calon penguasa Akkadiamadjantara menggeliat geli dengan lidah yang menjulur.

"Selamat cucuku, kalian telah menjadi orang tua. Jadilah orang tua yang bijak dan dengarkan semua cerita anakmu nanti. Sungguh, anak bercerita kepada kita karena dia merasa aman dan nyaman. Kesalahan orang tua terdahulu biarlah menjadi abu, jangan di ulangi apalagi di terapkan kepada bayi suci yang lucu ini. Aku sangat mencintai kalian, keluargaku," lirih Kawina memeluk kedua cucu dan cicitnya.

"Dhara," bisik Hartigan kepada istrinya.

Dhara bergumam lembut dan menatap para penari yang sedang menarikan tarian kepada mereka.

"Aku sangat mencintaimu, sangat. Terima kasih sudah menjadi istriku, menjadi ibu dari anakku. Tetapi yang paling penting adalah, terima kasih sudah menjadi temanku. Teman dekatku," kata Hartigan lembut.

Dhara mengulum bibirnya dan ketika Kawina melepas pelukan mereka. Dhara dengan impulsif menarik leher suaminya dan mendekatkannya ke wajahnya. "Aku sangat mencintaimu, suamiku. Apapun yang terjadi, gelombang cinta kita akan semakin kuat. Aku percaya itu, aku begitu mencintaimu, Raden Mas."

Ciuman mereka disaksikan oleh seluruh rakyat Akkadiamadjantara pagi itu. Ciuman yang lembut tanpa paksaan, terlihat sangat menggoda dan bagaikan hanya mereka berdua yang berada di beranda pada pagi itu. Mereka tidak peduli dengan sorakan rakyat dan tepuk tangan meriah mereka.

Inilah cinta kasih Sang Melati Suci dan Raden Masnya. Cinta mereka akan terus dan selalu tumbuh sampai rambut memutih dan tanah basah mengering.

SELESAI

HALLO, EPILOGNYA TELAT SEKALI YA. TETAPI TIDAK APA-APA.

PENULIS INGIN MENGUCAPKAN TERIMA KASIH SEBANYAK-BANYAKNYA KEPADA PARA PEMBACA. BANYAK SEKALI KEKURANGAN DALAM BUKU INI. PENULIS MEMOHON MAAF SEBESAR-BESARNYA.

SAMPAI JUMPA DI BUKU SELANJUTNYA, DADA...

Raden Mas Dan Aku-Tamat | Abrata Series #01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang