BAB 34 - Martabat

1.3K 128 0
                                    

Dhara mendorong dada Hartigan menjauh, pandangannya berkabut dan ia tidak ingin terlibat hubungan kotor ini bersama Hartigan. Dhara bergegas dengan buru-buru dan turun dari kereta kudanya tanpa mengatakan sepatah katapun. Ia merapikan dirinya dan kmebali pesta. Dhara meminum banyak limun dengan rakus sampai ia merasa kembung dan Pangeran Radjendra melihatnya lalu menghampiri wanitanya.

"Nona Dhara, apakah kamu baik-baik saja?" tanyanya khwatir melihat Dhara yang tengah meneguk gelas limun terakhir.

"Ya, Pangeran. Aku sangat baik," jawabnya tertahan dan bersendawa sehingga membuatnya terkejut begitupun dengan Pangeran Radjendra. Ia tergelak dan membawa Dhara kembali ke tempat bibinya, Ratu Isyana.

"Yang Mulia, ada yang ingin aku sampaikan." Pangeran Radjendra menggandeng tangan Dhara dan Ratu Isyana melihatnya.

Ia tampak begitu bahagia dan menepuk tangannya sekali. "Indah sekali, sangat indah. Pangeran dan Nona Abrata?"

"Kami akan segera-"

Perkataan Pangeran terpotong oleh Haniya yang tiba-tiba membelah kerumunan itu dengan pipinya yang memerah. "Mama?" gumam Dhara. Haniya terlihat mabuk dengan tawa lucunya menyipit kepada Pangeran Radjendra.

"Yang Mulia? Aku ingin mengatakan sesuatu," ucapnya sambil cegukan.

Ratu Isyana menatap janda itu dengan heran. Ia memanggil pelayan pribadinya untuk membatasi antara diirinya dan Haniya. Tatapan Ratu Isyana yang takut membuat Haniya semakin tertawa melihatnya.

"Yang Mulia, aku takkan menggigitmu," kekeh Haniya berusaha menembus dinding pertahanan pelayannya.

"Nyonya Abrata jika ada yang ingin kamu katakan, katakan saja dari sana," balas Ratu Isyana ngeri.

Haniya menyeringai, "aku, sebagai seorang Mama. Menginginkan anakku untuk mengenal Pangeran Radjendra terlebih dahulu sebelum mereka menikah."

Ratu Isyana menatap ketiganya bergantian. "Bukankah langsung menikah adalah yang terbaik?"

Haniya menggeleng dengan lucu, "tidak-tidak-tidak. Pernikahan harus dilakukan ketika keduanya sudah saling mengenal dengan baik. Sehingga ketika mereka sudah berumah tangga mereka dapat hidup berdampingan tanpa menyalahkan satu sama lain."

Ratu Isyana mengerutkan dahinya, "Bagaimana itu bisa terjadi? Apa kamu dapat memastikan mereka tidak akan saling menyalahkan walaupun mereka telah saling mengenal dengan baik sesbelum menikah?"

"Tentu saja, aku mengenal anakku." Haniya merangkul Dhara dengan kuat. Bermain mata agar anaknya mnegerti maksdunya.

"Ya, ya aku rasa juga begitu, Yang Mulia. Alangkah lebih baik kami saling mengenal terlebih dahulu sebelum menikah," kata Dhara tidak yakin. Ia menatap ibunya dengan heran. Haniya lalu cegukan lagi, dan Bhalendra yang sedari tadi mencarinya bernapas lega di samping mereka.

"Aku pikir Mama kemana." Bhalendra merangkul ibunya lalu meminta maaf kepada semua orang. "Dhara, Yang Mulia. Maafkan Mamaku, ia sedang tidak sehat."

Ratu Isyana mengangguk pelan, dan ia menyuruh Dhara untuk mengantar ibunya itu pulang saja.

"Aku akan membawa Mamaku pulang, Pangeran. Sampai jumpa dilain waktu," pamit Dhara bergegas dari sana.

"Bhalendra, kenapa kamu membiarkan Mama minum alkohol?"

Bhalendra menggeleng, "Aku tidak dapat menahannya, Dhara. Ia katakana hanya mencicipi sedikit. Lalu ia menjadi seperti ini."

"Ugh, kalian berdua benar-benar." Dhara memegang kepalanya.

"Apakah kamu sudah menerima lamaran Pangeran, Dhara?" tanya Bhalendra yang sedang mencoba menyeimbangkan tubuh ibunya.

"Seharusnya sudah secara de jure. Namun belum diresmikan, rencananya akan malam ini. Tetapi sial, cincinnya entah kemana." Dhara melirik jarinya yang sudh tidak terpasang cincin berlian yang diberikan oleh Pangeran Radjendra atas ketulusan pria itu.

Raden Mas Dan Aku-Tamat | Abrata Series #01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang