BAB 44 - Antara Cinta dan Tradisi

1.4K 132 0
                                    

Ketahuilah bahwasanya hari bahagia tidak akan bertahan selamanya. Masalah pasti akan datang, badai pasti menerjang. Seakan hari suram itu telah menanti, Akkadiamadjantara di balut awan gelap dan hujan sudah membasahi tanah sejak dua bulan setelah Sang Raja resmi menjadi suami dari Abrata Dhara.

Hartigan dipaksa oleh para tetua untuk bertanggung jawab atas rahmat yang berlimpah ruah, tetapi cukup berlebihan. Sehingga para tumbuhan yang siap di panen harus membusuk karena curah air yang cukup banyak dan lembab. Lumbung-lumbung yang lembab dan tidak sedikit yang kebanjiran, membuat penyimpanan hasil panen itu rusak parah.

Seluruh rakyat di buat ketar-ketir karena tidak tahu harus berbuat apa. Seharusnya musim kemarau ini menjadi musim yang makmur sebelum datangnya musim hujan. Tidak ada persiapan apapun, sehingga mereka bingung. Para tetua adat berdiskusi di aula Sang Raja, mereka menyarankan Sang Raja untuk menerima saran mereka.

"Seluruh rakyat sekarang sedang bertanya-tanya, di mana tanggung jawab, Yang Mulia. Sebagai seorang Sri Sultan yang seharusnya memberikan bantuan di saat musim hujan yang tiba-tiba datang di musim kemarau. Apakah ada kesalahan kami sehingga Dewa Agung mengirimkan musibah ini kepada kita?"

"Sebagai rakyat yang tunduk kepadamu, kami meminta bala bantuan dalam segi apapun, Yang Mulia. Mereka juga bertanya, di mana peran Permaisuri yang belum juga tampak semenjak hari pernikahan kalian."

Di sana duduk dua belas tetua adat, dan seorang Bupati yang disampingnya duduk paman Hartigan, Leksana Kamendaka. Ia menyimak rapat sedari tadi dan hanya mendecih melihat Sang Raja yang diam, tidak mengeluarkan sepatah katapun. Hartigan menerima semua keluhan yang disampaikan para tetua adat kepadanya.

"Bukankah sudah seharusnya kamu menikah lagi?" celetuk Kamendaka yang membuat semuanya terdiam. "Kabar Permaisuri mengandungpun belum tiba, apa salahhnya memiliki Selir selagi kamu mempunyai kesempatan?" sambungya dengan memandang rendah.

"Aku menerima semua keluhan yang dirasakan rakyatku mengenai pangan, papan, dan sandang. Tetapi jika paman mengeluhkan keadaan istriku, paman bisa meninggalkan aula ini," ucap Hartigan tegas dan berwibawa.

Kamandaka tertawa sinis, "Lihatlah, dia sudah berani menentang pamannya. Raja muda memang tidak bisa memimpin."

"Saka, pastikan Leksana Kamendaka, tidak hadir di rapat-rapat selanjutnya."

"Baik, Yang Mulia," ucap Saka dengan sopan dan memerintahkan para pengawal untuk mengeluarkan Kamendaka dari aula kerajaan.

Bupati Akkadiamadjantara, Djatmiko Adjiningrat melanjutkan. "Sudah seharusnya kamu menuruti perkataan pamanmu. Seorang Sri Sultan tidak bisa hidup hanya dengan satu istri. Keturunan itu penting, Yang Mulia. Kita tidak tahu apa yang bisa terjadi ke depannya."

***

Dhara menyiapkan makanan bersama denga pelayan lainnya, karena sudah beberapa hari ini Hartigan tidak makan malam bersamanya. Dhara memutuskan untuk makan malam di kamar mereka, setidaknya unutk mala mini ia melihat suaminya. Sudah hampir tiga minggu Hartigan tidak mengunjunginya, ia sibuk di aula istana dan hampir tidak pernah menginjakkan kakinya ke kamar mereka.

"Warni, apa dawet yang aku minta sudah diantar?"

Warni, pelayan Dhara yang mengikutinya ke Akkadiamadjantara sekarang bekerja di dapur istana membantu yang lainnya. Perempuan itu mengangguk, "Sudah, Yang Mulia. Di sebelah sana." Warni menunjuk teko antik yang berada di samping vas bunga.

"Oh, aku tidak melihatnya, terima kasih Warni." Perempuan itu mengangguk, dan semua pelayan meninggalakn ruangan. Dhara duduk menanti Hartigan yang akan kembali. Dhara menatap cahaya-cahaya remang di depan istana, biasanya prianya akan kembali di saat cahaya-cahaya remang itu meredup.

Raden Mas Dan Aku-Tamat | Abrata Series #01Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang