Nindy berbalik ke arah laki-laki tersebut.
"GUE NGGAK BUTUH SARAN DARI LO!" kesalnya, masih menatap ke arah pantai.
"Iya, tapi kamu ngapain di sini?" tanya laki-laki itu sambil berjalan perlahan menuju ke arahnya.
"BUKAN URUSAN LO, DAN JANGAN MUNCUL DI HADAPAN GUE!"
Laki-laki itu egois, tetap tidak menggubris ucapan Nindy dan terus berjalan mendekat.
"GUE SUDAH BILANG JANGAN COBA-COBA DATANG KE SINI ATA-" Baru saja Nindy akan melanjutkan ucapannya, laki-laki itu sudah mencelanya.
"Atau apa?" Kini laki-laki itu sudah berada di hadapannya dan menatapnya.
"Kamu ngapain sih di pantai siang bolong kayak gini? Kamu setan pantai apa gimana?" laki-laki itu mencoba menghibur Nindy.
"Gue enggak kenal sama lo dan bukan urusan lo juga kenapa gue ada di sini," Nindy berkata sambil duduk di pasir pantai, lalu diikuti oleh laki-laki tersebut.
"Aku Abrar, Abrar Fadilah, yang waktu itu nipu kamu," kata laki-laki itu, menyodorkan tangannya untuk berkenalan dengan Nindy.
Laki-laki itu adalah Abrar Fadilah, si manusia aneh yang membuat mood Nindy kacau. Ia sudah berganti pakaian, berbeda dengan penampilan Nindy yang sudah kacau.
Nindy tak membalas tangan Abrar. "Gue tahu dan gue enggak mau tahu," Nindy kembali menatap air pantai.
☆☆☆☆☆
Kini di hati Abrar hanya ada kesedihan, melihat wanita yang ia cintai secara diam-diam ini begitu menyedihkan. Entah apa masalah hidupnya, yang jelas Abrar ingin mengatasi semua rasa sedih itu.
"Syukur deh kalau udah tahu, eh Ndy."
"Bisa diem enggak sih?" ucap Nindy dengan malas.
"Nggak," tolak Abrar.
"Ish, ngeselin deh lo. Orang-orang pada kenapa sih hari ini?" Nindy semakin kesal.
"Mungkin bumi dan manusia lagi enggak sahabatan sekarang," celetuk Abrar.
"Kayaknya sih. Mana gue juga manusia lagi."
"Enggak selamanya yang bisa bikin kita terus bahagia akan selalu memberikan kebahagiaan. Jadi jangan bergantung pada apa yang mereka kasih. Kamu bisa berdiri di titik ini aja udah hebat, apresiasi diri kamu sendiri. Jangan buat diri kamu merasa gagal sama hal yang enggak bisa dijangkau."
Nindy mencerna setiap perkataan Abrar.
"Kamu lihat enggak awan yang ada di atas kita? Itu menandakan apa?" tanya Abrar.
Nindy menggeleng cepat.
Abrar menunjuk awan dengan telunjuknya. "Awan itu menggambarkan kehidupan kita, Ndy. Kamu ingat kan tadi aku bilang apa ke kamu? Aku bilang ngapain kamu di sini panas-panasan kan? Tapi setelah beberapa menit, awannya jadi mendung." Kali ini Nindy mengangguk.
"Terus masalahnya sama kehidupan apa?"
"Awan cerah itu menggambarkan kebahagiaan kita, Ndy. Awan mendung itu menggambarkan kesedihan. Tapi mendung belum tentu hujan, bukan berarti saat kamu sedih kamu akan selamanya terus bersedih. Kamu harus ingat bahwa saat kamu terkena mendung atau hujan, kamu masih punya payung untuk berlari menjauh dan menghindari kesedihan itu. Ya, semuanya tergantung pada diri sendiri juga sih." Nindy mengangguk paham.
"Makasih, Kak," Nindy tersenyum ke arah Abrar.
"Kita cuma perlu sama-sama belajar dari kesalahan yang kita buat, enggak usah berlarut dalam kesedihan. Hidup kan enggak melulu tentang mikirin yang enggak penting, justru hal yang kayak gitu yang bisa bikin kita lemah," ujar Abrar sambil tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sembagi Arutala (ON GOING)
Teen FictionNindy dan Abrar adalah dua jiwa yang terluka, dipersatukan oleh takdir dan cinta yang penuh pengorbanan. Di balik setiap senyuman tersembunyi rasa sakit dan keraguan yang mereka coba atasi bersama. Ketika Tuhan mempertemukan mereka, Abrar menjadi ja...