“Kakak nggak keberatan nemenin gue di sini?” Sepasang lelaki dan perempuan itu berjalan sambil membawa tiang infus menyusuri taman di rumah sakit.
“Kenapa aku harus keberatan? Kan aku suka rela nemenin kamu di sini, Ndy,” jawab lelaki itu, membuat Nindy semakin merasa tak nyaman.
“Kakak udah sering bolak-balik ke sini, pulang sekolah langsung cek keadaan gue. Gue ngerasa nggak enak hati, Kak. Gue paling nggak suka dikasihani orang. Lagian, gue cuma sakit biasa. Nggak ada yang perlu dikhawatirin. Plis ya, Kak, jangan terlalu peduli sama gue. Mending kepedulian lo kasih ke orang lain aja. Gue nggak butuh lo, gue butuh Bian.”
Deg
Hati lelaki itu tersayat dalam, mengetahui bahwa dirinya kini ditolak oleh wanita yang sudah mengisi hari-harinya.
Ya, dia Abrar. Lelaki itu tak lelah menunggu kesehatan Nindy. Ia sering bolak-balik ke rumah sakit hanya untuk melihat kondisi terkini Nindy. Tapi kebaikannya kini dipandang berbeda oleh Nindy. Gadis itu ternyata belum melupakan kepergian Bian ke Amerika. Bahkan, sepertinya Nindy sama sekali tidak ingin melupakan Bian setelah apa yang terjadi hari itu.
“Kayaknya udah cukup berjemurnya, ayo masuk lagi,” Abrar mengajak Nindy dan mencoba menuntunnya perlahan menuju kamar inap.
☆☆☆☆☆
Ceklek
“Ndy?”
Baru saja Abrar akan membuka pintu kamar tersebut, namun ia urungkan karena mendengar seseorang memanggil nama Nindy dari jauh.
Nindy yang semula menatap lantai, kini mengalihkan pandangannya pada asal suara tersebut.
“Kak Asiyah, kok kakak di sini?” Nindy menyingkirkan tangan Abrar yang berada di pundaknya.
“Kok keluar, Ndy? Abis berjemur ya?” tanya Asiyah dengan nada mengerti.
“Kakak tahu aja. Ayo masuk, Kak!” ajak Nindy pada Asiyah.
“Ehem, kok temennya nggak dikenalin ke Kakak, Ndy?” Asiyah mencoba mencari tahu tentang Abrar, ia tak ingin Nindy berlabuh pada tempat yang salah.
“Ini Kak Abrar, kakak tingkat gue di sekolah. Kebetulan dia lagi di rumah sakit ini jenguk temennya yang sakit. Jadi sekalian deh.”
Abrar langsung memperkenalkan dirinya pada Asiyah.
“Perkenalan, Kak. Salam kenal,” ujar Abrar sambil mengulurkan tangannya yang dibalas oleh Asiyah.
“Oh, Abrar. Temennya Nindy?” tanya Asiyah sedikit mengintrogasi.
“Udah di dalam aja yuk ngobrolnya. Nggak enak ngobrol di luar kayak gini. Kayak apa aja,” kata Nindy sambil berjalan duluan, namun langsung dibantu oleh Abrar. Tangan Abrar ditepis oleh Asiyah.
“Biar sama saya aja,” ucap Asiyah. Abrar pun pasrah dan melepaskan tangannya dari pundak Nindy.
“Itu siapa, Dek?” tanya Asiyah sambil membantu Nindy duduk di ranjang pasien.
“Jangan ngadu ke Bang Ares ya, Kak. Dia temen gue kok. Gue nggak ada hubungan apa-apa sama di-” bisik Nindy menggantung.
Abrar mendekati mereka berdua yang sedang berbincang, “Maaf, ganggu kalian ngobrol,” ucap Abrar.
“Ada apa?” sahut Asiyah dengan nada jutek.
“Gak apa-apa, Kak.”
“Aku pamit pulang,” ucap Abrar berpamitan.
“Loh, udah mau pulang, Kak? Maaf ya Kak udah merepotkan Kakak.”
“Gak apa-apa, Ndy. Cepet sembuh ya, Ndy.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sembagi Arutala (ON GOING)
Teen FictionNindy dan Abrar adalah dua jiwa yang terluka, dipersatukan oleh takdir dan cinta yang penuh pengorbanan. Di balik setiap senyuman tersembunyi rasa sakit dan keraguan yang mereka coba atasi bersama. Ketika Tuhan mempertemukan mereka, Abrar menjadi ja...