Bagian 6

90 9 4
                                    

Aresta memarkirkan mobilnya di depan carport. Setelah ini, dia harus kembali bekerja.

“Ibu beneran enggak apa-apa? Ares bisa kok enggak masuk hari ini,” tanya Aresta khawatir dengan kondisi ibunya setelah pulang dari pertemuan dengan ayahnya.

“It's okay, bang. Abang lanjut kerja aja. Gak usah mikirin Ibu, nanti abang malah gak fokus kerjanya,” jawab Hani lembut.

“Beneran?” Aresta memastikan lagi.

“Bener, abang. Semangat kerjanya anak Ibu tercinta,” Hani mengecup kening anak laki-lakinya.

Setiap alur kehidupan pasti ada pelajaran dan konsekuensi yang harus dihadapi, entah itu harus meninggalkan atau ditinggalkan. Semuanya merupakan bagian dari hidup yang tak boleh dilewatkan, walau sulit.

“Kalau ada apa-apa, langsung telpon Ares ya,” pesan Hani.

Aresta mengangguk dan segera berangkat ke kantor. “Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam. Selamat sampai tujuan dan berkah selalu, anakku,” balas Hani.

☆☆☆☆☆

Hani membuka pintu rumah impian yang dulu dibeli bersama Bani setelah mereka menikah dan dikaruniai anak. Langkahnya terasa lemah, seperti terhantam bebatuan besar. Kenangan bahagia di rumah ini terasa memudar.

Bani, yang dulu dikenal sebagai sosok yang membuatnya bahagia, kini membuatnya merasakan sakit yang mendalam. Sudah hampir satu tahun sejak Bani pergi ke Kanada tanpa sepengetahuan Hani dan anak-anak. Hari ini, Bani kembali untuk mengenalkan calon istri barunya.

Hani merasa sangat terluka. Jika bukan karena anak-anaknya, dia mungkin sudah tidak bisa bertahan. Dengan penyakit yang diderita dan tumpuan hidup yang hilang, Hani berdoa agar Tuhan memberinya kekuatan. Meskipun bersyukur karena Tuhan masih menyayanginya, Hani juga ingin merasakan kebahagiaan seperti yang Bani miliki.

Tangis Hani semakin membesar saat bel rumah berbunyi. Ia menghapus air mata dan merapikan dirinya sebelum membuka pintu.

Ketika melihat Bani, Hani terkejut.

“Ini masih rumah saya, Hani,” kata Bani masuk tanpa permisi.

“Terus kenapa kalau ini masih rumah kamu, mas?” Hani menjawab dengan penekanan. Rumah ini milik mereka berdua, dibeli dengan uang mereka berdua.

“Ini yang buat saya gak betah di rumah ini. Kamu gak pernah menghargai saya, Hani.”

“Ngehargain yang mana lagi, mas? Yang mana yang harus dihargai? Seorang suami yang pergi meninggalkan anak dan istrinya selama satu tahun, atau ayah yang tega memperkenalkan perempuan lain ke anak-anaknya?!” Emosi Hani semakin meledak. Ia takut jika terus berdebat dengan Bani, akan semakin sulit.

☆☆☆☆☆

Nindy sudah setengah jam menunggu ibunya, namun Hani tak kunjung datang. Dia merasa bosan dan ingin segera pulang ke rumah untuk istirahat karena hari ini mood-nya tidak baik.

Saat menyusuri jalanan menuju rumahnya, Nindy melihat keluarga bahagia yang sedang berlibur dan difoto.

“Kapan ya terakhir kali gue foto keluarga gitu?” pikirnya, merasa iri. “Pasti lucu kalau gue foto lagi sama Bang Ares, ibu, dan ayah, apalagi pakai baju yang sama.”

☆☆☆☆☆

Nindy tiba di halaman rumahnya dan melihat mobil yang terparkir di depan rumah. Mobil itu tampak familiar.

“Kayaknya mobil ayah deh. Ayah pulang ya?”

“Masa enggak kasih tahu gue dulu? Jahat banget,” gumamnya.

Sembagi Arutala (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang