Bagian 19

19 1 0
                                    

Tiga Bulan Kemudian

Tepat di bulan Maret, Nindy hadir dengan cantik di acara kelulusan Abrar di sekolahnya.

Seharusnya hari ini Bian juga hadir di kelulusannya, tetapi Nindy sudah tak tahu kabar tentangnya. Banyak pertanyaan yang ingin diajukan kepada Bian, seperti apakah dia masih bersekolah di sini atau tidak. Nindy berusaha menerima apapun keputusan laki-laki itu.

Sekarang, ia ingin fokus pada kebahagiaannya sendiri. Hidup tidak melulu tentang orang yang tidak ingin bersama kita. Bahkan, Nindy sudah tidak murung seperti saat Bian meninggalkannya; ia lebih ceria akhir-akhir ini berkat Abrar yang selalu ada untuknya.

"Kak, ke kantin yuk. Bosen gue di sini. Panas," Nindy menarik tangan Abrar menuju kantin.

Sesampainya di kantin, bukannya Nindy yang memesan, malah Abrar yang melakukannya. "Kamu duduk aja di sini ya."

"Mau kemana, Kak? Kan gue yang ngajak lo ke sini. Malah gue yang ditinggalin."

"Tunggu dulu ya, Nindy," kata Abrar sambil meninggalkan Nindy sendirian.

"Dih, gue belum juga jawab iya, udah pergi gitu aja," kata Nindy sambil memainkan ponselnya.

Tiba-tiba, Nindy mendengar suara yang familiar. "Bian?"

"Beneran Bian?" Nindy terkejut.

"Bian? Kenapa sama Bian, Ndy?" tanya seorang laki-laki yang berada di belakang tubuh Nindy.

"Hah, nggak apa-apa kok," jawabnya kaget.

"Ini bakso-nya, tambah juice mangga kan?"

"Aaaaaaa, makasih Kak. Kok lo tahu kesukaan gue sih. Gue makan ya." Nindy langsung menyantap makanannya dengan tergesa.

"Pelan-pelan, Ndy. Kalau habis, gampang kok tinggal nambah," kata Abrar sambil menyodorkan minuman kepada Nindy.

"Lain kali kalau makan, jangan buru-buru. Nikmati rasa baksonya," Abrar melap pipi Nindy dengan tissue.

"Kakak, jangan gitu. Kalau gue baper gimana?" rengek Nindy pada Abrar.

"Sengaja, biar kamu baper," ledek Abrar.

"Ih, Kakak, tapi gue bukan tipe orang yang gampang baper sih. Kayaknya di sini Kakak yang baper sama gue."

"Iya bocil, aku kalah. Kamu selalu benar. Udah makan lagi aja baksonya. Nanti kalau kurang, bilang ya."

"Siap, Kak Abrar. Kak Abrar emang manusia paling baik di alam semesta jagat raya deh," seru Nindy seperti anak kecil, membuat Abrar gemas melihat tingkahnya.

Perempuannya? Sebenarnya masih belum bisa dipanggil perempuannya, karena ia dan Nindy sama sekali tidak ada hubungan apapun yang melibatkan perasaan mereka berdua. Abrar masih menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan isi hatinya.

"Lucu," satu kata itu lolos dari mulut Abrar.

"Apa? Kakak ngomong apa?"

"Nggak, aku nggak ngomong apa-apa kok."

"Bohong. Padahal tadi gue denger sendiri Kakak bilang lucu. Siapa yang lucu, gue? Atau cewek itu?" Nindy menunjuk perempuan cantik yang duduk di sebelah kursi mereka.

"Kan udah denger, kenapa masih nanya?"

"Kan memastikan, Kakak emang mau gue mati penasaran?"

"Heh, nggak boleh bilang gitu," tegur Abrar pada Nindy.

"Iya, maaf ya Kak," wajah Nindy murung.

"Nggak apa-apa. Salah aku kok. Tadi aku bilang kalau kamu lucu, Ndy. Kamu beneran selalu lucu belakangan ini. Kenapa ya?" nada bicara Abrar lembut.

Sembagi Arutala (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang