"Lo nggak pulang, Bian?" Nindy menatap wajah Bian yang sudah mengantuk.
"Enggak, gue mau nunggu lo sama ibu di sini."
"Udah bilang ke papah mamah lo?" Nindy mengelus rambut Bian dengan lembut.
"Nanti gue kabarin mereka. Gue bakal selalu ada di sini. Jaga lo," tatapan Bian seperti anak kecil.
"Terima kasih ya, Bian."
"Sama-sama." Bian tersenyum sumringah.
"Lo nggak apa-apa kan tunggu di sini? Gue mau temenin ibu di ruangan. Lo mau ikut?" ajak Nindy.
"Gue di sini aja. Yang boleh nemenin cuma sendiri aja kata dokter."
"Hm, kalau gitu gue ke dalam ya, lo di sini tunggu Bang Ares pulang." Nindy mengelus rambut Bian.
Setelah masuk ke dalam ruangan, Nindy melihat ibunya dalam keadaan kejang. Tanpa berpikir panjang, ia segera menghampiri ibunya dan mencoba menenangkannya.
"Ibu, kenapa?"
"Ibu bertahan, Bu!"
Mencoba menetralkan rasa cemasnya, Nindy terus menekan tombol darurat agar ibunya segera ditangani."Bian!"
"Bian!!!!!"Bian segera menghampiri Nindy.
"Panggil dokter sekarang, Bian! Ibu gue kejang!" Nindy panik.
Tak lama kemudian, dokter datang.
"Tunggu sebentar ya, Non. Biarkan saya tangani dulu." Nindy menyingkir dari dekat ibunya.
"Ibu, bertahan ya, Bu. Adek di sini. Adek nggak akan ninggalin ibu."
"Kita tunggu ya, biar dokter fokus menangani ibu. Kita nggak boleh egois." Nindy menuruti perkataan Bian dan keluar dari ruangan.
Rasa takut semakin menghantui dirinya. Ia tak mau kehilangan orang-orang tersayang. Sudah banyak rasa sakit yang harus diterimanya dengan rela. Jika Tuhan mengambil semestanya lagi, entah apa yang akan Nindy lakukan.
Dokter segera sigap menangani Hani, dibantu oleh suster. Alat medis berjalan tak stabil, pengukur detak jantung pun semakin melemah.
☆☆☆☆☆
"Ibu bakal baik-baik aja kan, Bian?" Suaranya gemetar.
"Doain yang terbaik ya, Nindy," jawab Bian sambil mengangguk.
Tangan Nindy gemetar, bergerak tak karuan. Ia mencoba untuk tenang di situasi seperti ini.
"Duduk, Ndy. Lo nggak akan bisa tenang kalau berdiri dengan rasa cemas kayak gitu."
☆☆☆☆☆
"Cepat cek pulse oximeternya!"
"Rendah, Dok."
"Ambilkan saya defibrillator, cepat!" Suster segera memberikan alat tersebut.
Degg.
"Masih lemah, Dok."
Degg.
"Detak jantungnya semakin melemah, Dok."
Degg.
"Dok?"
Titttttttttttttttttttttttttt.
Alat kardioversi tak terdengar lagi suara detakan jantungnya.
Hani tak bisa diselamatkan, akibat penyakitnya yang sudah lama ia simpan.
"Innalillahi wa innailaihi roji'un."
Dokter menutup wajah Hani dengan selimut putih di ranjangnya.
☆☆☆☆☆
Nindy dan Bian bergegas menghampiri dokter tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sembagi Arutala (ON GOING)
Novela JuvenilNindy dan Abrar adalah dua jiwa yang terluka, dipersatukan oleh takdir dan cinta yang penuh pengorbanan. Di balik setiap senyuman tersembunyi rasa sakit dan keraguan yang mereka coba atasi bersama. Ketika Tuhan mempertemukan mereka, Abrar menjadi ja...