Keheningan menyelimuti ruang tamu di rumah mereka. Nindy duduk di sofa, menatap Ares dengan sorot mata yang tidak biasa. Ada tekad yang kuat di balik tatapan itu, namun juga tersirat kepedihan yang mendalam. Ares, yang merasakan ada sesuatu yang tidak beres, balik menatapnya dengan kebingungan.
"Ndy, ada apa? Kok tiba-tiba mau ngomong serius gini?" Ares memulai, berusaha mencairkan suasana.
Nindy menarik napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya berkata, "Bang, gue mau pindah sekolah."
Ares mengerutkan kening, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Apa? Ndy, lo dua bulan lagi kelulusan. Kenapa tiba-tiba mau pindah? Ada apa?"
"Gue gak bisa lagi di sini, bang," jawab Nindy dengan suara pelan tapi tegas. "Gue butuh waktu buat sendiri, jauh dari semuanya."
Ares terdiam sejenak, mencerna kata-kata Nindy. Ia sadar ada banyak hal yang terjadi dalam hidup adiknya, tapi keputusan ini terasa begitu drastis. "Ndy, lo gak bisa lari dari masalah kayak gini. Gue ada di sini buat lo, buat bantu lo. Pindah sekolah? Ninggalin semuanya? Apa lo yakin itu solusi yang tepat?"
Nindy menundukkan kepala, menatap tangan yang bergetar di pangkuannya. "Gue gak lari, bang. Gue cuma butuh waktu buat diri gue sendiri. Gue udah terlalu banyak mikirin orang lain, terlalu banyak nanggung rasa sakit ini sendirian. Gue butuh... waktu dan ruang buat sembuh."
Ares menarik napas panjang, mencoba meredakan gejolak emosi yang ia rasakan. "Terus, Ayah lo? Lo gak bilang apa-apa ke dia?"
Nindy menggeleng pelan. "Gue gak mau dia khawatir. Makanya gue bilang ke lo, bang. Lo yang paling ngerti gue, dan gue harap lo bisa bantu gue."
Ares menatap adiknya dengan campuran rasa khawatir dan kasih sayang. "Dek, lo gak perlu ngadepin ini semua sendirian. Gue masih di sini buat lo. Tapi kalau ini bener-bener yang lo mau, gue akan bantu lo. Gue cuma mau lo janji satu hal."
Nindy mengangkat kepalanya, menatap Ares dengan penuh harap. "Apa itu?"
"Janji buat gak nutup diri dari gue di sini. Gue bakal ngerti lo butuh waktu sendiri, tapi jangan hilang. Lo tetap bisa cerita ke gue, setidaknya kasih kabar biar gue tahu lo baik-baik aja."
Nindy tersenyum tipis, merasakan sedikit kelegaan. "Gue janji, bang. Gue gak akan hilang dari lo."
Ares mengangguk, lalu memeluk Nindy dengan erat. "Gue bakal selalu ada buat lo, dek. Apapun yang lo butuhin, lo tahu gue di sini."
Nindy membalas pelukan itu, merasakan beban yang sedikit terangkat dari pundaknya. Meskipun ia tahu ini akan menjadi perjalanan yang sulit, ia merasa sedikit lebih siap menghadapinya dengan dukungan abangnya.
☆☆☆☆☆
Nindy segera mempersiapkan kepindahannya. Ia memutus semua kontak dan meninggalkan kota sejuta kenangan ini, untuk sementara waktu.
Tanpa mengucapkan selamat tinggal kepada siapapun, termasuk Abrar yang terus menghubunginya, sudah ada 5 panggilan yang ia kirimkan, dan beberapa chat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sembagi Arutala (ON GOING)
Teen FictionNindy dan Abrar adalah dua jiwa yang terluka, dipersatukan oleh takdir dan cinta yang penuh pengorbanan. Di balik setiap senyuman tersembunyi rasa sakit dan keraguan yang mereka coba atasi bersama. Ketika Tuhan mempertemukan mereka, Abrar menjadi ja...