Bagian 20

30 1 0
                                    

Nindy duduk di teras rumahnya, menikmati angin sore yang sejuk sambil memperhatikan orang-orang berlalu lalang di kompleks. Mobil-mobil datang silih berganti menuju blok rumahnya, menambah riuh suasana sore itu.

Ting

Suara notifikasi dari ponselnya membuat Nindy tersadar dari lamunannya.

"Duh, gimana ini," gumamnya panik. "Gue hampir lupa kalo ada janji sama mereka berdua," ucapnya sambil menepuk jidat.

"Dek, sudah makan?" Suara Holik, kakeknya, terdengar dari dalam rumah.

"Kakek, sudah dong. Kakek sudah makan belum? Adek siapin makan buat Kakek dulu ya," Nindy bangkit dari duduknya, bersiap untuk masuk ke dalam rumah, namun Holik menahannya.

“Enggak usah, Kakek udah makan,” jawab Holik sambil duduk di kursi sebelah Nindy.

"Makan sama apa? Perasaan Abang Ares enggak masak apa-apa buat kita," tanya Nindy sambil mengernyitkan dahi.

"Ayahmu tadi siang antar makanan ke sini."

Nindy terkejut. "Sama siapa?"

"Sendiri. Sekarang dia ke mana-mana sendirian."

"Kalau sendiri, kenapa Ayah enggak tinggal bareng aja sama kita?"

Holik menghela napas panjang. "Enggak semua masalah bisa diselesaikan dengan tinggal bareng, Dek. Nanti kamu akan paham alasan ayahmu memilih untuk tinggal sendiri."

Nindy menunduk, merenungi kata-kata kakeknya. "Ayah enggak mau tinggal sama kita karena dia merasa bersalah, kan, Kek? Karena perselingkuhan yang menyebabkan Ibu meninggalkan Ayah. Kalau saja Ayah enggak selingkuh..."

"Selingkuh?" Holik terkejut mendengar kata itu keluar dari mulut cucunya.

"Iya, Inggit namanya. Sebelum Ibu meninggal, mereka berantem. Ayah minta Ibu untuk selalu menghargai dia, tapi Ibu malah yang lebih banyak mengalah. Ayah ninggalin keluarganya demi perempuan itu," Nindy menjelaskan dengan suara datar, seolah-olah menceritakan sesuatu yang sudah lama ia ketahui.

Holik hanya terdiam, menatap wajah Nindy yang penuh dengan kepedihan. Nindy, yang selama ini terlihat tenang dan pendiam, ternyata menyimpan begitu banyak luka dan kekecewaan. Holik merasa bersalah karena tidak pernah menyadari betapa berat beban yang harus ditanggung cucunya.

Beberapa saat kemudian, Nindy memutuskan untuk bertemu dengan Bian. Dia tak mau masalah sepele menghancurkan persahabatan mereka yang sudah terjalin sejak lama. Dia selalu diterima baik oleh keluarga Bian, begitu pula sebaliknya.

"Dek?" Holik memanggil, melihat Nindy yang sedang sibuk dengan ponselnya.

"Iya, Kek?" Nindy langsung meletakkan ponselnya di meja.

"Banyak banget beban yang kamu tanggung ya, kenapa?"

Nindy tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kesedihannya. "Enggak, enggak ada beban apa-apa kok, Kek. Adek cuma sibuk belajar."

Holik menggeleng pelan. "Nindy Putri Atmaja, nama yang bagus. Dulu ibu dan ayahmu sering bertengkar waktu menamai kamu."

"Kok bisa?" Nindy penasaran.

"Dulu, ayahmu ingin menamai kamu Desi. Tapi abangmu bilang, Desi itu orangnya centil. Ibumu juga sependapat sama abangmu. Mereka selalu ribut soal hal-hal kecil, dan kakek sempat senang karena berarti mereka masih berkomunikasi. Tapi setelah kakek pindah ke Kanada, kakek jarang dengar kabar mereka lagi, apakah mereka sering bertengkar atau malah memilih berpisah."

"Kakek," Nindy tiba-tiba terdiam, wajahnya murung. "Adek salah ya dilahirkan di dunia ini?"

"Enggak, Dek. Kamu adalah anugerah terindah bagi keluarga Atmaja. Kamu tahu, kakek cuma punya satu anak, ayahmu. Waktu kamu lahir, kami semua bahagia, terutama ibumu."

Sembagi Arutala (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang