Bagian 23

8 1 0
                                    

Sore itu, Bani mengajak putrinya, Nindy, untuk menghadiri makan malam bersama kolega-kolega bisnisnya. Bagi Nindy, ajakan itu seperti tamparan yang mengingatkan pada masa lalu yang penuh luka. Namun, ia memutuskan untuk ikut, berharap bisa mengubur kenangan pahit yang masih membekas di dalam hatinya.

Meski rasa sakit itu berusaha ia kurung rapat-rapat, bayangan ketakutan selalu menghantui. Harapan yang mulai tumbuh kembali dalam dirinya masih terasa rapuh, jauh dari cahaya yang terang benderang, namun cukup untuk membuatnya bertahan.

"Harus banget adek ada di sini, Yah?" Nindy mencoba mencari alasan, matanya penuh keraguan.

Ini memang dunia yang pernah ia kenal-berkumpul bersama orang-orang tua, membicarakan hal-hal yang seringkali membuatnya merasa kecil dan tak berdaya. Baginya, mengobrol panjang lebar tentang prestasi adalah seperti menelanjangi dirinya di depan cermin yang memantulkan semua ketidaksempurnaannya.

"Adek nggak mau temenin ayah?" tanya Bani, suaranya mengandung nada kekecewaan yang halus namun jelas.

"Bukan gitu, adek malu, Yah." Nindy merangkul lengan kekar ayahnya, mencoba menyembunyikan kecemasan di balik senyuman yang dipaksakan. Mereka berjalan bersama menuju kerumunan, tempat kolega bisnis Bani berkumpul.

Di kejauhan, seorang pria paruh baya melambaikan tangan, menyapa mereka dengan hangat. Nindy memperhatikan pria itu, mencoba mengingat di mana ia pernah melihatnya.

"Om Angga?" gumamnya dalam hati, terkejut.

Bani melihat reaksi putrinya, namun memilih diam. Sementara itu, Angga semakin mendekat, senyum lebar menghiasi wajahnya. Wajah yang sangat akrab di mata Nindy, tetapi juga membawa kenangan yang tak ingin ia ingat.

"Apa kabar?" Angga menyapa Bani dengan hangat, menyalaminya dengan erat. Lalu, ia beralih pada Nindy, meraih tangannya dan menggenggamnya terlalu lama, seolah mencari sesuatu yang hilang di balik sorot matanya.

"Maaf, Om," Nindy menarik tangannya dengan lembut namun tegas, lalu segera merangkul lengan ayahnya lebih erat.

"Makanannya enak, ya? Pasti Hani yang pilih lagi, kan? Tempat makan kesukaannya," ujar Angga sambil tersenyum, tak menyadari bahwa setiap kata yang ia ucapkan adalah pisau yang menggores hati.

Bani hanya tersenyum kaku. "Terima kasih sudah datang, permisi," jawabnya singkat, sebelum menarik Nindy menjauh. Mereka berjalan pergi, meninggalkan Angga yang terdiam, bingung dengan reaksi tiba-tiba yang ia terima.

Namun Angga tak menyerah. Ia mengejar mereka, suaranya menggema di tengah keramaian. "Bani, Nindy, tunggu!"

Nindy mempercepat langkahnya, mencoba melarikan diri dari bayang-bayang masa lalu yang mengejar. Namun, Angga berhasil menyusul mereka.

"Apa aku salah bicara? Kenapa kalian pergi begitu saja?" Angga menatap mereka dengan wajah penuh tanya.

Bani menghela napas, berusaha menenangkan diri sebelum berbicara. "Angga, ini bukan waktu yang tepat."

Angga tak puas dengan jawaban itu. "Bukan waktu yang tepat? Bani, aku sudah lama tidak bertemu kalian. Di mana Hani? Mengapa dia tidak di sini?" tanyanya dengan nada semakin mendesak.

Mendengar nama ibunya disebut, Nindy merasakan dadanya semakin sesak. Ia menunduk, menahan air mata yang mulai menggenang.

Bani memalingkan wajah, menekan rasa sakit yang mendesak di dadanya. "Angga, jangan bawa-bawa Hani," ujarnya dengan suara yang dipenuhi emosi.

Angga semakin bingung. "Kenapa tidak? Apa yang sebenarnya terjadi? Ke mana Hani?" Suaranya kini dipenuhi kepanikan.

Nindy tak bisa lagi menahan air matanya. "Om, ibu... Ibu sudah pergi..." suaranya pecah, isak tangis mulai meledak.

Sembagi Arutala (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang