Aresta memarkirkan mobilnya di garasi rumah dan segera keluar, bergegas memasuki rumah. Ia terkejut melihat ibunya terbaring di lantai, menangis sambil memegangi dadanya, sementara seorang pria berdiri di dekatnya dengan tampak tidak peduli.
"Ibu!" Aresta berlari menghampiri ibunya dan membantunya duduk di kursi.
"Ibu, kenapa?" tanya Aresta penuh kekhawatiran.
"Ibu tidak apa-apa, bang," jawab ibunya dengan senyum tipis yang tidak meyakinkan.
Aresta merasa marah dan kecewa. "Ibu, kamu lemah. Ngapain terus-terusan dibela? Dia itu manipulatif!" teriak Aresta sambil menatap ayahnya dengan penuh amarah.
"BAJINGAN!" Aresta melangkah mendekati ayahnya dan menonjok wajahnya tanpa rasa iba.
"Bang, sudah!" Hani, ibunya, berusaha mencegah Aresta, tapi usahanya sia-sia. Aresta terus melanjutkan kemarahannya.
"Dia tidak bisa dibiarkan, Bu. Udah tua, tapi enggak pernah mikir. Menurut dia, ngurus anak itu enggak butuh tenaga, duit doang juga gue punya. Tanpa harus minta sama lo," Aresta terus menghajar ayahnya meskipun ibunya sudah mencegahnya.
"ANJING EMANG, AYAH MACAM APA LO. MALU GUE PUNYA AYAH KAYAK LO. MALU GUE HARUS NGAKUIN KE DUNIA KALO LO AYAH GUE. ASAL LO TAHU, TANPA DUIT DARI LO PUN GUE BISA HIDUP SAMPE SEKARANG. ENGGAK USAH NYARI GARA-GARA, ENGGAK USAH BUAT IBU GUE SAKIT HATI. GARA-GARA ULAH LO!" Aresta semakin membabi buta.
"BANG, UDAH BANG, KASIAN AYAHMU!" Hani tak henti-hentinya menangis, mencoba menenangkan anak laki-lakinya, meski dadanya semakin terasa sakit.
"LIAT, IBU GUE CINTA MATI SAMA LO. DIA RELA PERTARUHIN NYAWANYA DEMI LAKI-LAKI BRENGSEK KAYAK LO. DIMANA HATI NURANI LO? MIKIR, OTAK LO DIMANA, ANAK LO UDAH DUA, UDAH GEDE SEMUA. BAJINGAN L—" Aresta berhenti sejenak saat melihat ibunya terbaring lemas di lantai. Ibunya pingsan.
Ayahnya sudah tak bertenaga, wajahnya babak belur. Aresta segera mendekati ibunya, "IBU!!!" matanya penuh kekhawatiran saat ia memegang kepala ibunya.
"INI SEMUA GARA-GARA LO!" teriak Aresta pada ayahnya yang mulai pergi dari rumah.
"ANAK KURANG AJAR, BESOK KEMASI BARANG KALIAN DAN PERGI DARI SINI!" teriak ayahnya sebelum meninggalkan mereka begitu saja.
Aresta segera membawa ibunya ke mobil dan mengantar Hani ke rumah sakit terdekat, berharap ibunya bisa segera mendapatkan perawatan.
☆☆☆☆☆
Di rumah sakit, Aresta membuka pintu kemudi dan berlari ke belakang mobil, mengangkat ibunya keluar dan berteriak meminta tolong kepada petugas rumah sakit.
"SUSTER, TOLONG IBU SAYA!" seru Aresta. Para suster segera menghampiri, membawa strecher untuk ibunya. Hani dibawa ke ruang UGD untuk penanganan lebih lanjut.
Aresta berniat masuk ke ruang UGD, namun suster mencegahnya. "Keluarga pasien harap tunggu di luar," kata suster tersebut.
"Tap—" pintu UGD tertutup rapat.
Aresta terduduk lemas di lantai rumah sakit, menangis dan merasa frustasi. Ia mencoba menghubungi adiknya beberapa kali tanpa hasil.
Aresta merasa putus asa dan heran dengan sikap adiknya yang mirip dengan ayahnya. Ia membuka pesan di handphone dan mengetik pesan untuk Asiyah.
"Lo kemana sih dek, gue khawatir sama lo," tulisnya dengan penuh kekhawatiran.
Beberapa menit kemudian, pintu UGD terbuka dan dokter serta suster keluar dari ruangan.
Aresta menghampiri dokter, "Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?"
"Keadaan ibu Anda kritis," jawab dokter singkat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sembagi Arutala (ON GOING)
Teen FictionNindy dan Abrar adalah dua jiwa yang terluka, dipersatukan oleh takdir dan cinta yang penuh pengorbanan. Di balik setiap senyuman tersembunyi rasa sakit dan keraguan yang mereka coba atasi bersama. Ketika Tuhan mempertemukan mereka, Abrar menjadi ja...