Bagian 5

94 9 6
                                    

Setelah Aresta dan Hani mengantarkan Nindy ke sekolah, Aresta segera melajukan mobil menuju tempat ayahnya.

"Abang yakin mau ketemu sama ayah?" tanya Hani dengan hati-hati.

"Kita harus selesaikan ini, Bu. Abang khawatir kalau Ibu terus-menerus bersama Ayah, Ibu akan semakin terluka," jawab Aresta dengan fokus pada jalanan.

Bagaimanapun, Bani tetaplah suaminya. Meski Bani telah meninggalkan mereka selama beberapa tahun terakhir, Hani tidak pernah berniat untuk meninggalkannya. Hani sangat menyayangi suaminya, meski terkadang rasa sayangnya terhalang oleh anak-anak mereka.

**Bani Atmaja** – Ayah Nindy dan Aresta, pengusaha sukses

Aresta menghentikan mobilnya di sebuah kafe sepi dengan suasana hangat, yang mengingatkan Hani pada kafe pertama kali mereka saling mengungkapkan perasaan.

Ditatapnya wajah suaminya dengan penuh kerinduan.

"Ibu," Aresta menggenggam tangan ibunya.

Langkahnya terhenti. "Ibu takut, Bang, untuk bertemu Ayah kamu."

Dengan penuh rasa menjaga, Aresta berkata, "Gak apa-apa, Bu. Ares ada di sini untuk menjaga Ibu."

"ARESTA!" Suara itu mengejutkan Hani dan Aresta.

"Ayo, Bu, jangan khawatir," kata Aresta sambil memaksa dirinya untuk tidak memperlihatkan rasa takutnya. Meskipun hatinya berat, Hani tetap mengikuti langkah Aresta.

Melihat suaminya bersama wanita lain adalah mimpi terburuk Hani. Rasanya sangat sakit melihat Bani, yang dulu adalah cinta abadinya, berpaling ke orang lain.

Hani duduk di hadapan penghancur hidupnya.

"Nindy ke mana?" tanya Bani dengan santai.

"Kenapa anak saya tidak kalian ajak?" tanya Hani, sambil mengelus tangan wanita yang duduk di samping Bani.

"Nindy di sekolah, sibuk. Susah kalau harus menyusun jadwal dengan dia," jawab Aresta, tidak membiarkan ayahnya berbicara seenaknya.

"Emang harus menunggu waktu kosong dulu untuk bertemu ayahnya sendiri?" kata wanita itu memprovokasi.

Hani merasa ingin melempar gelas di hadapannya, namun ia berusaha mengontrol emosinya agar tidak memperburuk situasi.

"Anakku sekarang bukan anak kecil lagi, Mas. Aku ngerti kok," kata Hani, berusaha bersikap tenang.

"Dia anak saya juga, bukan hanya anak kamu, Mas," jawab Hani, sudah muak dengan perilaku mereka.

"Mas Bani yang biayain semuanya, kan?" wanita itu memutar bola matanya dengan tidak suka.

"Sudah, sudah," Bani memotong percakapan.

"Hani, Aresta, ini Inggit. Dia calon ibu baru kamu, dan ini madammu, Hani," ujar Bani dengan bangga memperkenalkan wanita lain di keluarganya.

"Inggit," kata Hani dengan senyuman yang terpaksa.

"Sepertinya pertemuan kita sampai di sini saja. Saya tidak mau berurusan dengan orang seperti ini. Ayo, Bu!" Hani tidak menyangka anaknya akan berbicara seperti itu.

"Bang, gak apa-apa. Ibu belum sempat kenalan sama Tante Inggit," kata Aresta sambil memberikan senyuman isyarat agar Hani tidak langsung pergi. Aresta duduk kembali.

"Saya Hani Azizah. Istri Mas Bani, ibu dari Aresta dan Nindy juga," kata Hani dengan senyuman palsu yang menunjukkan bahwa ia adalah istri sah Bani dan ibu dari anak-anaknya.

"Senang berkenalan dengan Mbak. Semoga kita bisa akur," jawab Inggit dengan senyuman yang dipaksakan.

"Inggit," Hani menyebut nama wanita itu dengan nada tegas.

Sembagi Arutala (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang