Setelah kejadian saat makan malam itu, Aresta mendiamkan Nindy selama beberapa hari. Ia enggan mengantar Nindy ke sekolah dan juga tidak mau makan malam bersama lagi.
Suatu pagi, Nindy memberanikan diri untuk menggunakan mobil yang diberikan oleh Bani. Ketika ia keluar rumah dengan mobil tersebut, Aresta sudah menunggunya di depan carport.
"Siapa yang izinin lo pake mobil itu, Nindy?" tanya Aresta dengan nada menuduh.
"Lah, kan ini mobil gue. Suka-suka gue lah mau dipake atau enggak, ngatur banget hidup lo," balas Nindy dengan nada kesal.
Pagi-pagi buta, adik dan kakak ini bertengkar di depan carport. Keduanya memang keras kepala dan memiliki gengsi yang besar. Jika bertengkar, Nindy sering kali menjauh, sedangkan Aresta memilih menginap di kantor daripada harus saling meminta maaf.
Hani, yang mengamati anak-anaknya, mendekat. "Ibu rapi banget hari ini, mau kemana?" tanya Nindy, menilai pakaian ibunya.
"Ada kerjaan sama abang, jadi ibu ikut nebeng pake mobilnya. Biar hemat bensin juga," jawab Hani sambil tertawa kecil.
"Ibu sama bang Ares, adek mau pake mobil satu lagi," Nindy berusaha mencari kesempatan.
"Enak aja, lo ikut juga semobil sama gue," sahut Aresta, tidak memberi kesempatan pada Nindy untuk menggunakan mobilnya sendiri.
Selain khawatir adiknya menggunakan mobil, ada alasan lain yang membuat Aresta sangat enggan. Mobil ini dibeli oleh Bani, ayah mereka. Aresta sangat membenci pria yang menyandang status ayahnya itu.
Sebenarnya, ini bukanlah rahasia keluarga Atmaja, melainkan aib. Bani meninggalkan anak dan istrinya tanpa sepengetahuan mereka, meninggalkan kesan mendalam tentang betapa teganya dia melakukan hal tersebut.
"Abangmu benar, adek semobil saja sama ibu," Hani membujuk Nindy agar mau pergi bersama.
"Tanggung, Bu. Adek udah panasin mobilnya," kata Nindy dengan wajah cemberut.
"Nurut ya, nak. Ibu khawatir kalau adek nyetir sendiri. Belum waktunya," Hani terus membujuk.
"Ibu nggak usah khawatir, adek kan udah bisa pake mobil," balas Nindy.
"Namanya juga ibu, bakal selalu khawatir."
"Ya sudah, ayo. Adek takut kesiangan."
☆☆☆☆☆
Di mobil, Nindy memperhatikan Aresta yang mengenakan jas. "Lah, tumben banget bang pake setelan jas. Biasanya juga warnanya suka nabrak-nabrak," ledek Nindy.
"Diem, kalau ucapan lo nggak bermutu. Mending diem," kata Aresta, meraup bibir Nindy dengan tangannya.
"Ayo, Bu. Takut kesiangan," ajak Aresta.
"Gue nggak di ajak, bang?" tanya Nindy.
"Sialan, punya abang ngeselin banget."
"Cemburuan banget lo sama ibu sendiri, ayo naik cepat!"
☆☆☆☆☆
Sudah lama sekali Nindy melihat ibunya kembali sibuk seperti saat ini. Ia terus-menerus menatap ibunya yang sedang mengemudikan mobil.
"Ini mobil atau apa sih, musik dong, bang. Flat banget hidup lo nggak ada musik di mobil sendiri."
"Terus urusan lo apa?"
"Ya gue mau dengerin musik lah, bang. Kan harus semangat pagi."
"Semangat pagi macam apa ini, Nindy? Orang semangat pagi pake lagu senam, ini malah musik galau. Dasar sad girl."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sembagi Arutala (ON GOING)
Teen FictionNindy dan Abrar adalah dua jiwa yang terluka, dipersatukan oleh takdir dan cinta yang penuh pengorbanan. Di balik setiap senyuman tersembunyi rasa sakit dan keraguan yang mereka coba atasi bersama. Ketika Tuhan mempertemukan mereka, Abrar menjadi ja...