Bagian 28

7 1 0
                                    

3 Tahun Kemudian...

POV ABRAR

Abrar duduk di sudut kafe, tempat yang selalu mengingatkannya pada Nindy. Di sini, dulu ia sering melihat Nindy tersenyum dan tertawa. Tiga tahun sudah berlalu sejak Nindy menghilang tanpa jejak, tetapi bayangan wajahnya masih terlintas di benak Abrar, meski perlahan mulai memudar.

Hari ini, kafe milik Abrar lebih ramai dari biasanya. Ia sibuk melayani pelanggan, berbicara dengan mereka, tetapi pikirannya tetap melayang ke masa lalu—momen-momen bersama Nindy. Saat sedang melayani seorang pelanggan, pintu kafe terbuka, dan seorang perempuan masuk. WajahWajah perempuan itu berseri-seri, matanya memancarkan kehangatan yang segera menular ke seluruh ruangan. Dia adalah Anggun, pelanggan setia yang hampir setiap hari datang ke kafe.

“Mas Abrar, seperti biasa, ya,” ucap Anggun sambil tersenyum lebar, mendekati meja kasir.

Abrar membalas senyumnya dengan ramah. “Sure, Anggun. Latte kesukaan lo, kan?”

Anggun mengangguk sambil tersenyum lebih lebar lagi. “Kamu tahu aja, Mas. Emang nggak pernah salah.”

Sembari menunggu pesanannya, Anggun berdiri di dekat meja kasir, melanjutkan kebiasaan mereka untuk mengobrol ringan. Awalnya, pembicaraan mereka hanya seputar hal-hal sederhana, tapi kali ini terasa berbeda. Percakapan mereka mulai menyentuh topik yang lebih dalam, tentang kehidupan dan mimpi-mimpi di masa depan.

Anggun memperhatikan Abrar yang tampak sedikit melamun, lalu berkata dengan nada penasaran, “Mas Abrar, ada yang beda hari ini. Kamu kelihatan lebih... hmmm... mungkin sedikit melamun?”

Abrar tersentak dari lamunannya, lalu tersenyum tipis. “Nggak kok, cuma lagi ingat-ingat sesuatu aja.”

Anggun mengangkat alis, tertarik untuk tahu lebih banyak, tapi tetap sopan. “Kalau boleh tahu, apa yang lagi diingat? Eh, nggak apa-apa kok kalau nggak mau cerita, aku cuma kepo sedikit.”

Abrar menatap Anggun sejenak, lalu akhirnya memutuskan untuk membuka diri. “Hari ini tepat tiga tahun sejak hubungan gue dengan seseorang yang dulu sangat berarti buat gue... Tapi, dia udah nggak ada di sini lagi.”

Mendengar itu, Anggun merespon dengan penuh pengertian. “Maaf kalau aku terlalu lancang. Tapi, mungkin dia pergi bukan karena dia nggak sayang lagi sama kamu. Kadang, orang pergi karena mereka butuh menemukan diri mereka sendiri.”

Abrar menghela napas panjang, merasakan beban di dadanya sedikit berkurang. “Mungkin kamu benar. Tapi tetap aja, itu nggak mudah buat dilupakan.”

Hening sejenak. Anggun menatap Abrar dengan tatapan lembut, mencoba menyampaikan dukungan tanpa kata-kata. Kemudian, dengan suara lembut, dia berkata, “Mas Abrar, aku tahu aku bukan siapa-siapa, tapi kalau kamu butuh teman bicara atau sekadar tempat untuk berbagi cerita, aku ada di sini. Nggak ada niat apa-apa, cuma... kadang kita butuh orang lain untuk bantu kita move on.”

Abrar tersenyum hangat, merasa sedikit lebih lega. “Makasih, Anggun. Gue bener-bener appreciate itu.”

Percakapan mereka berlanjut, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam diri Abrar. Sejak kehilangan Nindy, ia berjanji untuk tidak membuka hatinya lagi. Namun, kehadiran Anggun, dengan caranya yang tulus dan memahami tanpa banyak bertanya, membuat dinding yang telah ia bangun mulai runtuh.

Hari demi hari berlalu, dan setiap kali Anggun kembali ke kafe, Abrar merasakan hatinya yang beku perlahan mencair. Dia mulai menikmati kebersamaan mereka, meskipun tetap berusaha untuk tidak terlalu berharap.

Namun, di lubuk hatinya, Abrar sadar bahwa ia tidak bisa selamanya hidup dalam bayang-bayang Nindy. Meski Nindy akan selalu menjadi bagian penting dari hidupnya, mungkin, hanya mungkin, sudah saatnya bagi Abrar untuk membuka hati pada seseorang yang baru. Anggun, dengan senyumannya yang hangat dan kehadirannya yang menenangkan, mulai menjadi lebih dari sekadar teman bagi Abrar.

Sembagi Arutala (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang