Sore itu, Nindy merasakan kejenuhan yang begitu kuat. Rumah yang biasanya menjadi tempatnya berlindung kini terasa sepi dan membosankan. Ia memutuskan untuk keluar, mencari sedikit kesegaran dengan berjalan-jalan ke taman kota yang tidak jauh dari rumahnya. Langit sore tampak cerah, menambah suasana damai di taman itu.
Saat Nindy tengah asyik menikmati pemandangan, matanya tiba-tiba menangkap sosok yang tidak asing. Di ujung jalan setapak, ada Abrar yang sedang jogging. Ia melambatkan langkahnya begitu menyadari kehadiran Nindy.
"Nindy! Aku nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini," sapa Abrar dengan napas yang sedikit tersengal-sengal.
Nindy menoleh dan tersenyum, ada kehangatan yang muncul di dadanya. "Iya, lagi pengen jalan-jalan aja, Kak. Lo sering jogging di sini?"
"Lumayan sering, tapi biasanya pagi," jawab Abrar sambil mengusap keringat. "Hari ini kebetulan lagi senggang, jadi aku lari sore."
Setelah berbincang singkat, Abrar mengajak Nindy duduk di bangku taman. Mereka duduk bersebelahan, menikmati suasana sore yang tenang.
"Kamu kelihatan lebih tenang sekarang, Nindy," ujar Abrar tiba-tiba.
Nindy terdiam sejenak. "Iya, gue merasa lebih baik sekarang. Meskipun... kadang masih ada rasa kehilangan yang tiba-tiba datang."
Abrar menoleh ke arahnya dan tersenyum kecil. Ia meraih tangan Nindy, menggenggamnya dengan lembut. "Itu wajar. Aku senang kamu mulai bisa menemukan kebahagiaan lagi, meski pelan-pelan."
Nindy menatap tangan mereka yang saling bertautan, merasakan ketulusan di dalam genggaman itu. Mereka berdua duduk di sana, menikmati sore yang semakin memudar dengan perasaan yang lebih ringan.
☆☆☆☆☆
Akhir-akhir ini aresta jarang pulang ke rumah, meski ia bilang akan sering pulang. Tapi pekerjaannya yang memaksa ia harus tetap berjaga.
Rasanya bingung selalu menyelimuti malamnya, tak ada makanan di meja makan, rumah ini benar-benar kehilangan nyawa.
Nindy memeriksa persediaan bahan makanan yang akan ia masak, saat ia lihat. Ternyata cukup banyak juga bahan makanannya, ia mencari tau di media sosial berbagai resep masakan yang pas dengan persediaan di kulkas.
Setelah selesai mencari, tiba-tiba tangannya mengklik kontak abrar.
Saat Abrar tiba, Nindy sudah menyiapkan semua bahan di dapur. Mereka mulai memasak bersama, menghabiskan waktu dengan canda tawa. Meskipun Abrar tidak terlalu ahli dalam memasak, ia berusaha keras membantu Nindy.
"Kak, potong bawangnya jangan terlalu besar, nanti nggak mateng," ujar Nindy sambil tertawa melihat potongan bawang Abrar yang tidak rapi.
"Hei, aku kan cuma bantu! Aku nggak jago masak," jawab Abrar sambil ikut tertawa.
Nindy meledek, "Merendah terus, kalau nggak bisa masak. Mana mungkin buka cafe, huhhh."
Selama memasak, mereka berbagi cerita tentang masa kecil, pengalaman lucu, dan impian di masa depan. Momen-momen kecil itu membuat Nindy merasa semakin nyaman berada di dekat Abrar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sembagi Arutala (ON GOING)
Teen FictionNindy dan Abrar adalah dua jiwa yang terluka, dipersatukan oleh takdir dan cinta yang penuh pengorbanan. Di balik setiap senyuman tersembunyi rasa sakit dan keraguan yang mereka coba atasi bersama. Ketika Tuhan mempertemukan mereka, Abrar menjadi ja...