Setelah malam itu, hubungan antara Nindy dan Abrar semakin erat. Meski Nindy masih sering terjebak dalam bayang-bayang masa lalu, kehadiran Abrar memberikan secercah harapan yang ia butuhkan. Setiap kali Nindy merasakan duka mendalam, Abrar selalu ada, mengulurkan tangannya untuk membantu Nindy bangkit.
Hari-hari berlalu, dan Nindy mulai membuka diri kepada Abrar tentang banyak hal yang selama ini ia pendam sendiri. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, entah itu hanya sekadar berbicara di kafe favorit mereka yaitu kafe milik Abrar sendiri atau berjalan-jalan di taman. Meski hubungan mereka semakin dekat, Nindy tetap menjaga jarak dalam hal perasaan. Bian masih mengisi sebagian besar hatinya, dan Nindy tahu bahwa ia tidak adil jika memberikan harapan kepada Abrar sementara hatinya masih tertambat pada seseorang yang telah pergi.
Namun, Abrar tidak pernah memaksa. Ia memahami bahwa Nindy butuh waktu. Baginya, kebahagiaan Nindy adalah yang utama, meskipun itu berarti ia harus menahan perasaannya sendiri.
Suatu hari, Nindy memutuskan untuk mengunjungi makam ibunya. Sudah lama ia tidak datang ke sana, dan kali ini, ia merasa perlu untuk berbicara dengan Hani, meski hanya dalam hati. Ia mengajak Abrar untuk menemaninya, dan tanpa ragu, Abrar setuju.
Saat mereka tiba di pemakaman, Nindy merasa hatinya semakin berat. Ia berjalan pelan menuju makam ibunya, menunduk dalam diam saat ia sampai di sana. Abrar berdiri sedikit di belakang, memberinya ruang untuk berbicara.
"Ibu, adek kangen..." Suaranya lirih, hampir tak terdengar. Ia berlutut di depan makam, menyentuh batu nisan dengan tangan yang gemetar. "Maaf, adek lama nggak ke sini. Banyak yang terjadi, Bu, dan adek masih belum bisa lepas dari semuanya."
Nindy menahan isak tangisnya, merasa dadanya sesak oleh rasa rindu dan penyesalan yang mendalam. Ia memejamkan mata, berharap bisa merasakan kehadiran ibunya sekali lagi, meskipun hanya dalam angan.
Abrar mendekat perlahan, lalu meletakkan tangan di bahu Nindy. "Nindy, kamu nggak perlu menanggung semua ini sendirian. Ibumu pasti tahu betapa besar cinta kamu untuknya."
Nindy mengangguk pelan, lalu membuka matanya kembali. "Gue cuma... gue cuma pengen ibu di sini, Kak. Ada banyak hal yang gue nggak bisa ceritain ke siapa pun selain ibu."
Abrar terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara lembut, "Mungkin ibumu nggak ada di sini secara fisik, tapi dia selalu ada di hatimu, Nindy. Dia tahu apa yang kamu rasakan, dan dia pasti bangga sama kamu."
Nindy terisak pelan, merasa sedikit lebih tenang dengan kata-kata Abrar. Ia menghabiskan beberapa saat lagi di sana, berdoa dalam diam sebelum akhirnya berdiri dan mengucapkan selamat tinggal kepada ibunya.
Ketika mereka meninggalkan pemakaman, Nindy merasa ada sedikit beban yang terangkat dari hatinya. Meski rasa rindu itu tidak akan pernah hilang, ia merasa lebih siap untuk melanjutkan hidup, dengan kenangan indah tentang ibunya sebagai pemandu.
"Kak, terima kasih sudah selalu ada buat gue," ucap Nindy saat mereka berjalan kembali ke mobil.
Abrar tersenyum dan menggenggam tangan Nindy sebentar sebelum melepaskannya. "Aku akan selalu ada di sini, Nindy, kapan pun kamu butuh."
Dengan itu, mereka melanjutkan perjalanan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Nindy merasa bahwa meskipun masa lalu masih membayanginya, masa depan tidak lagi terlihat suram. Dengan Abrar di sisinya, ia tahu bahwa ia bisa menghadapi apa pun yang datang.
☆☆☆☆☆
Beberapa minggu kunjungan mereka ke makam Hani, hidup Nindy mulai sedikit berubah. Meski masih banyak momen ketika kesedihan datang tanpa diduga, Nindy merasa lebih kuat. Dia mulai kembali menikmati hal-hal kecil dalam hidup-hal yang dulu sulit ia lakukan karena rasa duka yang terlalu dalam. Abrar tetap menjadi pendamping setia, selalu siap mendengarkan dan memberikan dukungan tanpa pamrih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sembagi Arutala (ON GOING)
Teen FictionNindy dan Abrar adalah dua jiwa yang terluka, dipersatukan oleh takdir dan cinta yang penuh pengorbanan. Di balik setiap senyuman tersembunyi rasa sakit dan keraguan yang mereka coba atasi bersama. Ketika Tuhan mempertemukan mereka, Abrar menjadi ja...