Bagian 9

58 8 4
                                    

Malam itu, Hani dipindahkan ke ruang rawat inap. Nindy merasa tidak tega melihat ibunya yang dikelilingi alat-alat medis.

Nindy berusaha memahami situasi ini. Ia membuka handphone dan mengetik pesan untuk abangnya yang entah ke mana.

"Kak, kata Bang Ares kalau mau pulang tunggu Bang Ares dulu," ucap Nindy kepada Asiyah.

"Emang Pak Aresta kemana, Ndy?"

"Bang Ares lagi anterin mobil ayah yang tadi kita pakai," jawab Nindy sambil menghela napas berat.

"Oh, gitu, Ndy," balas Asiyah. Nindy mengangguk.

Mereka mengikuti suster dan dokter yang membawa ibunya ke ruang VVIP Melati Putih, sebuah ruangan rumah sakit yang bernuansa gold seperti hotel mewah.

Di ruang tersebut, beberapa alat medis dipindahkan dari tubuh ibunya dan diganti. Meskipun ibunya sudah berada di ruang ini karena UGD tidak memungkinkan, kondisinya masih kritis.

"Dok, kira-kira ibu saya sembuhnya kapan ya?" tanya Nindy, merasa pertanyaan itu bodoh namun tak tertahan.

Dokter memahami kekhawatiran anak-anak yang ingin orangtuanya panjang umur. "Doakan saja, Non. Keadaan ibu masih kritis, dan alat-alat medis sangat membantu ia bertahan hidup. Kita serahkan semuanya pada Yang di Atas. Jika besok ibu Hani membaik, akan dilakukan operasi untuk pengangkatan penyakitnya," jelas dokter tersebut. Nindy mengangguk.

"Baik, Non. Saya permisi," kata dokter sebelum meninggalkan Nindy yang terdiam menatap ibunya yang keadaannya semakin memburuk.

"Yang menemani pasien di dalam hanya satu orang," ucap suster.

Nindy menatap Asiyah dengan tak enak hati.

"Aku nunggu di luar aja, Ndy, sambil nunggu Pak Ares," kata Asiyah dengan peka.

"Iya, Kak. Maaf ya," jawab Nindy.

"Enggak apa-apa, Ndy. Aku nunggu di luar aja," kata Asiyah sebelum keluar dari ruangan.

Sisa di dalam ruangan hanya ada suster, Nindy, dan ibunya.

"Saya mengecek pasien yang lain dulu, Non. Kalau ada yang bisa saya bantu, tinggal tekan tombol di samping kasur pasien," kata suster sebelum pergi.

Nindy duduk di samping kasur ibunya, menatap wajah ibunya yang tampak penuh penderitaan. Ia mengambil tangan ibunya yang masih tertusuk jarum infus dan menciumnya beberapa kali.

"Bu, maafin adek ya. Selama ini adek belum bisa kasih ibu kebahagiaan. Mulai sekarang, ibu boleh ngeluh sama adek sepuas ibu. Asal ibu jangan tinggalin adek sendirian di sini. Ibu kan tahu adek gasuka kalau ibu sedih. Meskipun tadi sore adek buat ibu sedih, tapi sejujurnya adek gak ada niatan buat itu. Adek cuma benci kalau denger orang ribut. Ibu bertahan ya, Bu. Adek sama abang selalu nunggu ibu sehat kembali. Adek sayang sama ibu," air mata Nindy membasahi pipinya. Ia merasakan penderitaan yang ibunya alami.

Nindy terus menangis tanpa henti, merasa membutuhkan Bian yang selalu bisa mendengarnya. Hanya Bian tempat Nindy mengeluh dan menjadi dirinya sendiri. Nindy sangat membutuhkan Bian saat ini.

Kringg

Notifikasi dari handphone-nya berbunyi. Nindy segera membuka pesan itu.

Bian selalu tahu kapan dirinya dibutuhkan. Meskipun statusnya sudah mantan, Bian tetap hadir sebagai penebus kesalahannya.

Beberapa menit kemudian, Bian belum juga datang.

☆☆☆☆☆

Ares telah kembali dari aktivitasnya, termasuk menyimpan mobil ayahnya yang sempat dipakai Nindy. Sebelumnya, ia sempat menuju showroom mobil langganan ibunya untuk memesan mobil baru untuk adiknya.

Sembagi Arutala (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang