Bagian 21

9 1 0
                                    


Tok tok tok

"Dek, lo masih melek kan?" Suara Aresta terdengar dari balik pintu.

"Ada apa, Bang? Gue lagi gak mau diganggu," jawab Nindy dengan nada ketus.

Sudah seminggu sejak Bian pergi meninggalkan Nindy, dan hari-harinya kembali terasa sepi, meskipun Aresta selalu berusaha menemaninya.

Nindy menatap jendela kamar yang gordennya berkibar-kibar terkena angin dari luar. Pikirannya melayang pada momen terakhir bersama Bian. Bukan, jangan disebut sebagai perpisahan terakhir—lebih tepatnya hanya perpisahan sementara untuk pengobatan dan studinya.

"Lo harus jaga kepercayaan gue ya, Bian. Gue berharap lo sembuh dengan cara apapun. Kalau lo gak bisa bertahan demi gue, setidaknya bertahanlah demi diri lo sendiri."

"Jangan khawatir, Nindy. Semuanya akan baik-baik saja, percayalah," balas Bian dengan yakin.

"Janji?" Nindy mengulurkan jari kelingkingnya, yang disambut oleh Bian dengan hangat.

"Janji."

Ceklek

Pintu kamar terbuka, menampakkan wajah Nindy yang datar. "Bang, plis."

"Yaudah, yaudah, nih," Aresta menyodorkan sebuah kotak hadiah.

"Gue gak mau disogok, Bang. Buat lo aja," Nindy menyodorkannya kembali, lalu menutup pintu dengan cepat.

"Gue taruh di meja ya! Oh iya, Kakek malam ini balik ke Kanada," ucap Aresta sebelum melenggang pergi.

Nindy masih berada di kamarnya. Entah apa yang membuatnya merasa begitu nyaman di sana hingga tak ada gangguan yang bisa mengusiknya.

Ceklek

Nindy keluar dari kamar, mengambil kotak tersebut, lalu kembali masuk.

"Kotak apa ini?" gumamnya pada diri sendiri.

Kotak itu langsung dibuka oleh Nindy, namun ia tiba-tiba menutupnya kembali bersama surat di dalamnya.

"Nanti aja deh gue bukanya," ucapnya sambil bergegas mengejar kakaknya yang belum lama pergi.

"Bang? Bang Ares? Lo kemana? Perasaan baru tadi keluar!" seru Nindy kesal.

"DOR!" Aresta muncul dari belakang, mengejutkan adiknya.

"Ish, ini nih yang gak gue suka dari lo, Aresta Putra Atmaja. SOK IYEH!" gerutu Nindy.

"Dih, songong amat nih bocah," sahut Aresta sambil merangkul dan memijat kepala adiknya dengan gemas.

"Bang, udah ah udah. Lepasin gue atau gue teriak minta pertolongan warga kalau gue mau di-KDRT," ancam Nindy.

"Becanda kali, adikku sayang, putri, kanjeng ratu, penguasa alam semesta," goda Aresta dengan nada penuh canda.

"Pagi-pagi udah bercanda aja nih anak-anak Ayah," suara Bani memecah kehangatan di antara mereka.

Raut wajah Aresta berubah dingin begitu mendengar suara ayahnya. "Bang, lo ngundang Ayah buat sarapan?" bisik Nindy sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Mana gue tau. Beliau inisiatif datang sendiri. Ya kali gue ngundang, orang kita aja numpang di rumahnya," jawab Aresta dengan nada ketus, tatapannya dingin saat melirik ke arah Bani.

Nindy tidak lagi sesenang saat pertama kali bertemu Ayahnya setelah ia pergi dan kembali tiga bulan lalu.

Mereka bertiga saling bertatapan bingung.

TittD

Suara klakson membuyarkan tatapan mereka.

Nindy menoleh ke arah mobil yang datang. "Kakek?" Seseorang turun dari mobil.

Sembagi Arutala (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang