Pada sore hari di pelataran senja balkon kamar Abi
Baru saja tiba di kediamannya, tak lantas membuat lelaki bersurai coklat itu membersihkan diri. Langit sudah mulai berubah jingga, menandakan senja akan tiba. Lelaki itu menghempas ranselnya kasar ke atas ranjang. Waktu lambat sekali berputar, dia benar-benar kelelahan.
Membuka kancing seragamnya satu persatu, menanggalkan pakaian kebanggaan siswa itu dengan asal. Menyisakan sebuah kaos tipis yang dapat menerawang tubuhnya dari luar.
Abi meraih kursi belajarnya, menyeret benda itu ke arah balkon. Menikmati senja sudah jadi rutinitasnya. Senja tak kalah indah dengan malam yang menjadi favoritnya.
Bisa di bilang ini relaksasi, Abi bahkan hanya sempat meminum kopi botol yang di berikan Jefran siang tadi. Cacingnya di dalam meronta-ronta minta sesuap nasi, namun Abi rasanya terlalu malas mengunyah karbohidrat itu. Ingat, dia terlalu lelah.
Senja mulai menghiasi langit kota Medan, menandakan Adzan Maghrib akan berkumandang. Ayat-ayat suci mulai menyapa indra pendengaran.
Lagaknya seorang ningrat, rahang tirus itu dibawa mendongak menantang langit. Laki-laki itu bergumam, "jika memang mencintainya itu sebuah keharaman, mengapa Tuhan memberi rasa terlarang?"
Sayup-sayup terdengar suara jangkrik sebelum pengeras suara di tiap-tiap masjid berbunyi. Abi yakin tak akan ada jawaban, lantas ia membawa tubuhnya berbalik. Irisnya menyapu sepanjang langkah yang membawanya menuju kamar. Tungkainya tertahan, tanpa diminta irisnya menatap membola pada sosok di hadapannya.
"Kamu?!" Pekiknya tertahan. Pemuda di hadapannya memandang heran. Sedikit terkejut menemukan fakta lelaki di seberang mengenalnya.
"Lu kenal gua?"
Abi menerka, ingatannya tak mungkin salah. "Kamu yang pagi tadi godain saya di jalan kan?"
"Hah?" Alis pemuda itu tertaut heran. Dia saja baru bertemu lelaki di seberang sore ini.
Digodain katanya? Sarap ni orang-pikirnya.
"Ck! Yang godain saya di jalan tadi pas macet, kamu kan?"
Ingatan pemuda itu mulai menjelajah kejadian pagi tadi, saat dirasa memorinya tertuju pada anak laki-laki berseragam SMA yang membunyikan klakson motornya dengan tenaga dalam.
"Lu yang mencet klakson pake tenaga dalam itu ya?"
Bodoh, bodoh, bodoh, kenapa malah itu yang di ingat?
Abi mendengus tak ada niatan untuk membalas. Tungkainya kembali melanjutkan langkah yang sempat tertunda. Saat di rasa waktu Maghrib hampir habis, Abi mempercepat langkahnya.
"Njir dek, beneran budek?"
Abi malas membalas, hanya dengusan samar yang pemuda itu dapati sebagai jawabannya.
"Eh bentar dulu dek, gua disini baru pindah. Jadi sebagai tetangga baru gua kudu memperkenalkan diri. Nama gua Gevan, terserah mau panggil abang, mas, aa, sayang, cinta, sweety, kasih..."
Abi memotong cepat, "pertama saya bukan adek-adek. Usia saya udah cukup legal kecuali kalo mungkin kamu yang memang om-om. Dua, saya ga tau kamu tetangga baru saya. Tiga, saya ga perlu tau siapa nama kamu, apalagi manggil kamu pake panggilan-panggilan menjijikkan yang kamu sebutkan tadi."
Pemuda di depannya mengelus dada pelan, sedikit meringis sebab yang digoda sama sekali tak tergoda. Harga dirinya telah jatuh ke dasar.
Tanpa berucap lagi, Abi segera melanjutkan langkahnya yang tertunda. Meninggalkan pemuda sok akrab yang baru di temuinya. Sosok yang ditinggalkan tersenyum masam, meragu pada waktu mendatang kepindahannya ke kota ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adorasi Dama (NOMIN)✔
FanfictionAdorasi Dama (re) : Pengorbanan Cinta Kasih Medan dan kerasnya kehidupan mempertemukannya dengan sosok penuh kejutan. Abi kira ia tak pernah merasa sulit kecuali saat diam-diam memuja Jefran dalam setiap deru napasnya. Namun ketika 'sosok' itu hadir...