Kesalahpahaman

106 17 1
                                    

Pada petang bermandikan keringat dan luapan kerinduan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pada petang bermandikan keringat dan luapan kerinduan

Sorakan riuh memenuhi telinga, para gadis yang meneriakkan satu nama. Dia yang berlari menggiring bola bergantian dikedua tangan, memasukkannya ke ring dalam satu lemparan pasti dan angka di papan skor bertambah. Teriakan yang semakin memekakkan saat dia menjemput kemenangan. Dia Abi yang selalu mempesona.

Ingatkan mereka jika ini adalah turnamen terakhir baginya, ingatkan mereka jika ini adalah kemenangan terakhir untuknya, ingatkan mereka juga jika ini adalah kali terakhir mereka melihatnya bermandikan keringat disudut lapangan sambil menenggak habis satu kaleng minuman berenergi yang sialnya terlihat berkali-kali lipat lebih seksi. Tapi jangan beritahu mereka soal dia yang menyukai laki-laki.

Petang memang waktu terbaik menggiring bola di lapangan, sebab saat siang tak bisa dibayangkan seberapa panas kota Medan. Abi melangkah menjauhi lapangan dengan selembar handuk yang tersampir di pundak. Keringat masih senantiasa bercucuran, mengabaikan tatapan memuja para gadis yang dilewatinya.

Ini kali terakhir dia bergaya bak pangeran di lapangan, sebab kelulusan sudah di depan mata. Langkah-langkah kakinya yang panjang dibawa menyusuri sudut-sudut sekolah yang akan dia rindukan.

Bertepatan dengan itu, pintu ruang OSIS terbuka. Pemuda blasteran yang amat Abi kenali berdiri mematung dihadapannya. Dua pasang mata yang bersibobrok menatap penuh pancaran rindu, tapi ego yang membuncah enggan mengalah. Abi memutus tatapan lebih dulu lantas melanjutkan langkahnya yang tertunda. Jefran sendiri yang memintanya untuk menjauh.

"Dep..." Panggilan lirih yang begitu Abi rindukan, suara berat yang selalu berucap semangat saat dia jenuh. Abi mematung, pun dengan Jefran yang berdiri tak kalah kaku. Posisi keduanya saling membelakangi, mau tak mau Abi tak bisa menebak ekspresi Jefran sekarang.

"Kenapa pergi?"

"Tapi kamu butuh ruang buat menjauh." Bohong jika Abi bilang dia tak rindu, hampir setengah usia  telah ia habiskan bersama Jefran. Dibalik fakta dia pernah menaruh rasa, Jefran tetaplah orang yang selalu ada saat dia ingin menjemput bahagia sebelum Gevan datang.

Jefran menghela napas, "Perasaanmu sudah hilang kan?" yang hanya dijawab deheman oleh Abi. "Lalu kenapa belum pulang?"

Di waktu yang bersamaan keduanya berbalik. Ada pedih yang terpancar dari tatapan Jefran yang tertunduk. "Aku masih rumahmu kan? Kenapa belum pulang?"

"Saya sudah punya rumah baru, Jef."

Jefran tersenyum getir, "Bagaimana rumah barumu? Apa nyaman?"

Anggukan antusias didapatinya dari Abi yang tersenyum sumringah. "Sangat nyaman untuk pulang di waktu lelah, damai untuk beristirahat, dan yang paling penting rumah itu kosong Jef. Hanya saya satu-satunya penghuninya."

Jefran tertohok, tersenyum masam sebab kalimat itu benar-benar mengenainya. Abi benar, bagaimana dia bisa menjadi rumah untuk orang lain saat hatinya sudah berpenghuni. "Aku senang, kapan-kapan bawa aku berkunjung ke rumah barumu."

"Pasti."

"Dep....pulanglah sesekali ke rumah lama meski penuh luka. Bagaimanapun rumah itu tersimpan banyak kenangan di masa muda."

"Saya ga mungkin meninggalkan rumah lama begitu saja tak terawat. Sesekali saya akan datang, tergantung pintu rumahnya masih terbuka untuk saya atau nggak."

Detik selanjutnya, Jefran menerjang Abi dengan pelukan. Menangis tertahan sebab mereka masih di depan ruangan OSIS yang biasanya banyak orang berlalu lalang. Untung saat ini sepi, jadi Jefran tak perlu malu menangis untuk Abi. 

"Maafkan aku dep,maaf. Maaf karna ga mau tau dengan keadaan kamu. Maaf untuk keegoisanku. Maaf karna memintamu untuk menjauh. Aku ga pantas kamu sebut teman, sekali lagi maafin aku."

Abi tersedak ludah sendiri. Sejak kapan Jefran jadi melodrama begini. "Saya udah maafin kamu, jangan begini Jef. Saya juga minta maaf telah lancang mencintai kamu."

Pelukan mengerat dengan Jefran yang menahan laju air matanya agar berhenti mengalir, "Kamu ga salah, hati gabisa milih Dep. Bahkan Karina yang pacaran denganku saja masih mencintai kamu."

"A-apa?!"

"Selama ini aku dijadikan batu loncatan agar dia bisa mendapatkan kamu."

"Gadis sialan itu-"

"Udah Dep, gapapa. Aku baik-baik aja."

"Apa aku juga kamu jadikan batu loncatan untuk mendapatkan dia lagi, Abiraga?"

Abi tersentak lantas mendorong tubuh Jefran untuk menjauh. Si pemilik suara berat yang begitu dikenalinya kini berdiri tepat di belakangnya dengan raut wajah menahan amarah.

"Ini ga seperti yang kamu lihat Gevan..." Abi sengaja berucap lirih agar tidak memancing orang-orang untuk datang.

"Terus apa? Kamu bilang dulu kamu cinta dia kan, dan sekarang kalian pelukan mesra disini. Kamu masih mau bilang kalo aku salah liat?!"

Abi mendekati Gevan dengan wajah memelas, mencoba meraih tangan pemuda itu yang sialnya justru ditepis dengan kasar. "Aku bisa jelasin sama kamu."

"Jelasin apa lagi?! Semua udah jelas."

Jefran yang sedari tadi menyimak tontonan gratis didepannya agak merasa mual. Dia belum pernah melihat pemandangan laki-laki yang marah karna laki-laki berpelukan dengan laki-laki, jadi dia belum terbiasa. Terlebih ini adalah Abi, sobat seperjuangannya yang datar dan tak punya gairah hidup sedang membujuk orang dengan wajah menyedihkan. Hell, bukan Abi sekali.

"Ehm, bro. Jangan cemburu sama aku, gini-gini masih suka dada perempuan."

Tak ada sahutan, begitu juga perdebatan Abi dan Gevan yang terhenti. Dengan senyum konyol, Gevan menyugar poninya kebelakang hingga jidatnya terpampang lantas berujar, "Kenapa di bilang sih? Kan gua gajadi ngambek."

Jefran tersenyum canggung tak enak hati, "Oh, iyakah? Kalo gitu gajadi bilang." 

"JADI KAMU GA BENERAN CEMBURU?"

"Dih enggalah, ngapain juga cemburu sama orang yang jelas-jelas suka dada semok."

Kuatkan Abi yang benar-benar tak habis pikir dengan tingkah pemuda ini. Sampai jumpa untuk helaian legam rambut Gevan yang kini telah rontok ditangannya. "Astaghfirullah, anarkis banget sih heran."

"Siapa suruh sok ngartis?!"

Sementara Jefran dengan wajah cengo dan tidak mengerti dengan situasi ini hanya bingung. Dia kira akan terjadi baku hantam antara dirinya dan Gevan, ternyata hanya ada kekerasan rumah tangga disini. 

"Jef, saya pulang duluan ya. Anak ini mau saya kasih pelajaran." Langsung saja Gevan diseret oleh Abi yang masih mengoceh sepanjang jalan.

"Pelajaran tentang gaya ciuman baru?"

"Diam kamu."

"Oh atau pelajaran di ranjang? Dilihat-lihat kalo keringetan gini kamu makin seksi ya." Gevan bersiul dengan genitnya sambil memindai tubuh Abi dari kepala hingga kaki.

"Aku bilang diam."

"Galak amat bos. Bolehlah ya kita praktekin nanti, aku udah siap lahir batin."

"Diam nggak?"

"Mau pake gaya apa tinggal bilang. Kamu bagian desah doang, kalo maju mundur biar jadi urusan aku."

Melihat Gevan yang sama sekali tak ingin berhenti mengoceh, Abi geram. Rahang pemuda itu ditariknya demi membubuhi satu kecupan di atas bibir. "Bisa diam nggak? Kalo ga diam juga aku tinggalin kamu disini."

Yang digertak kicep, beraninya Abi menciumnya tanpa aba-aba. "Kurang banyak sayang." Rengeknya sok manja.

"UDAH DIBILANG DIAM." Teriakan Abi bahkan bisa mengkondusifkan suasana sekolah menjadi tenang.



Adorasi Dama (NOMIN)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang