Goresan Lara

101 21 1
                                    

Pada tengah malam kembali merenungi rasa yang tak kunjung pudar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pada tengah malam kembali merenungi rasa yang tak kunjung pudar

Ketika panggilan dari seberang terputus, Abi meraung. Menyumpal mulutnya dengan sapu tangan guna meredam tangisan. Berharap Bunda di bawah tidak mendengar.

Tak usah di tanya seberapa sakit hatinya, tergores pilu sampai berdarah-darah. Sesak itu kian menyerangnya, laki-laki itu memukul dadanya dengan kepalan tangan. Tak kunjung mengurangi sesak di dalam sana.

Kakinya di bawa tertatih menuju balkon, tempat pelarian terbaik. Mungkin dengan melihat gelap hatinya sedikit terobati.

Di seberang balkon kamarnya, si tetangga baru duduk menyilang kaki lagaknya tuan tanah yang siap memerintah. Di antara jari tengah dan telunjuk terselip satu batang rokok penghantar nikmat dunia.

Kegiatannya terhenti kala netranya menyapu pemandangan dari seberang balkon. Si lelaki yang di godanya tadi sore disana, memandang langit sambil-

Menangis?

Si pemuda lantas berdiri, menjatuhkan sebatang rokok yang belum sempat ia hisap setengah. Begitu saja berjalan tak lupa menginjak batang rokoknya.

Langkahnya terhenti saat dirasa posisinya sudah paling dekat dengan lelaki di seberang.

"Kenapa?"

Abi menoleh, tak lantas menjawab. Si tetangga baru mendengus, sia-sia saja dia bertanya.

"Selain budek, lu juga bisu ya."

Iris cokelat itu melotot tajam pada tetangga baru yang seenaknya berujar.

"Saya ga budek apalagi bisu. Saya cuma males nanggepin omongan kamu."

"Dih, ngartis."

Atensinya ia kembalikan pada malam, Abi enggan menanggapi si tetangga baru yang kini telah mengambil ancang-ancang untuk melompat ke balkon kamarnya.

"Gila kamu?!!"

"Gua emang harus gila dulu baru lu mau nanggepin gua."

Si tetangga baru mendekat, semakin pemuda itu menghampiri Abi semakin melangkah mundur.

Hingga langkah itu terhenti dengan punggung menabrak sudut balkon, si tetangga baru masih mendekat hingga ujung jari kaki keduanya bersentuhan.

Bau maskulin menguar dari tubuh di depannya. Memabukkan hingga merasuki indra penciuman. Kepalanya sedikit pening, ntah karena menangis atau karna aroma milik pemuda ini.

"Ga usah gugup gitu, kek anak perawan aja lu."

Sontak Abi mendorong mundur tubuh yang lebih kekar. Jari-jarinya tak sengaja menyentuh dada bidang itu.

"Mending kamu pergi."

"Gua ga mau pergi sebelum lu kasih tau kenapa lu nangis." Putus si pemuda.

Jari-jari panjang itu meraba permukaan wajahnya, sisa-sisa cairan bening yang luruh tadi masih ada. Pantas saja pemuda itu tau dia baru menangis.

"Bukan urusan kamu."

Si pemuda merasa tertantang, "kalo gitu gua bakal tetap disini sampe lu kasih tau."

"Sepenting itu buat kamu?"

"Bukan penting buat gua, tapi buat lu. Gua yakin lu lagi butuh temen cerita kan? Ya udah cerita sama gua. Rahasia lu seratus persen aman terkendali."

Menghela napas pelan, Abi memutar tubuh kembali ke arah spot favoritnya.

"Saya cuma lagi patah hati."

Si pemuda mulai menyimak, mengikuti arah pandang Abi. Netra keduanya menatap lurus pada langit malam kota Medan di temani lampu-lampu jalanan.

"Saya suka sama teman sendiri, udah 7 tahun. Tapi kemarin dia bilang udah jadian sama orang lain."

"Bego." Pemuda di sampingnya mengumpat. Abi mengernyit heran, belum berakhir ceritanya sudah hampir terjadi adegan baku hantam.

"Kamu ngatain saya?"

"Ya iyalah, bego." Tegasnya sekali lagi. "Trus lu nangis gitu aja?"

Abi mengangguk pelan sebagai jawaban, pemuda di sampingnya berdecak. "Ck, lu laki ngapain nangis? Perjuangin lah. Baru juga jadi pacar orang, belum jadi bini orang."

Tersenyum masam, Abi bergumam. "Belum berjuang saja saya sudah di paksa mundur sama keadaan."

"Karna?"

"Ada hal yang ga perlu kamu tau."

"Ngab, cewe banyak. Gua bantu cari deh buat lu. Ga usah lu tangisin tu cewe. Namanya sahabat ya ga bisa naik pangkat jadi pacar, apalagi jadi pasangan hidup."

Cewe memang banyak, masalahnya saya ga suka cewe- Abi meringis dalam hati.

Pemuda itu mengulurkan tangan menepuk-nepuk kepala Abi dengan pelan. Bertingkah layaknya seorang kakak pada adiknya yang terluka.

"Anyway gua udah ngomong banyak tapi gua belum tau siapa nama lu. Sabi lah woy kita kenalan, tetangga kudu ramah tamah."

"Abi." Singkatnya si lelaki berujar tanpa mengalihkan pandangan dari langit malam.

Si pemuda mengulurkan tangan sejajar wajahnya. Alis Abi terangkat, lantas dengan gerakan canggung dia menyambut uluran itu.

"Umi." Sahut si pemuda sembari menampilkan cengiran khas ejekan yang membuat Abi naik pitam. Segera tangan itu di hempaskannya.

"Santai nyet, gua Gevan."

Abi melirik sekilas, tak begitu peduli. Pasalnya dia sudah tau nama pemuda ini sejak sore tadi.

"Nama lengkap lu apa dah. Ga enak manggil Abi, kek manggil bapak-bapak."

Abi memutar bola matanya malas, Gevan tampak tak sedikit pun merasa canggung dengannya.

"Raden Aljadef Abiraga."

"Raden udah kek keturunan keraton aja lu. Gua panggil raga kek anak biologi, gua panggil Alja udah kek Aljabar. Gua panggil Dep mau kaga? Lu bisa panggil gua Gep.
Gep Dep jadinya serasi yakan?"

Ingatan Abi begitu saja terputar pada pemuda blasteran pemilik hatinya. Tak ada selain Jefran yang memanggilnya demikian. Ditambah sekarang Gevan berujar seolah dia pengganti sosok itu.

Tanpa sadar, Abi mengangguk. Menghantarkan senyum seindah bulan sabit dari mata sipit di sampingnya. Abi termenung, sejak kapan bulannya berpindah? - batinnya.

Senyum itu seolah menariknya lebih dalam. Tak membiarkan Abi mengalihkan pandangan sedetik pun dari pahatan sempurna di sampingnya.

Di lihat lebih dekat, Gevan seperti orang Eropa yang tersesat di tanah Batak. Fitur wajahnya tegas, dengan rahang maskulin dan dagu yang sedikit runcing menambah kesan jantan dalam dirinya.

"Kamu blasteran?"

Begitu saja Gevan terkekeh dengan pertanyaan yang Abi lontarkan. "Kagalah, bokap gua orang betawi. Nyokap orang batak. Bule darimananya?"

Ah, anak ibukota rupanya. Pantas saja gaya bahasa gaul lebih mendominasi dalam setiap ucapannya. Abi berdehem menutupi kebodohannya yang dengan lancang bertanya.

"Lu kalo mau nanya apapun ga usah sungkan gitu. Kita temen kan sekarang?"

Melirik pada wajah penuh harap Gevan untuknya, Abi lantas mengangguk "iya, kita teman."

Tampaknya setelah ini akan ada yang menduduki posisi Jefran dalam ruang pertemanannya. Tapi tidak untuk posisi Jefran di hatinya, masih utuh tanpa senantiasa berkurang seujung meski pemuda blasteran itu menolaknya tadi.

Adorasi Dama (NOMIN)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang