Kamu Milikku, Tapi Bukan Untukku

101 13 4
                                    

Pada petang dengan langit kemerahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pada petang dengan langit kemerahan

Jefran mengusap wajahnya dengan kasar. Ingin memutar waktu kembali, seandainya saja dia cepirit bukannya sesak pipis, pasti dia akan mendekam di kamar mandi lebih lama sehingga tak perlu menyaksikan adegan dewasa di depan matanya.

Kalau begini kan dia jadi ingin, ehh. Masalahnya mau melakukannya dengan siapa? Kekasih saja tak punya.

"Lu pengen Jep? Sini gua cipok." Dengan tanpa merasa bersalah Gevan menarik salah satu sisi wajah Jefran menghadap ke arahnya.

Jefran yang merasa tersudut, memilih mengadu pada Abi. "Dep, peliharaanmu tolong dikandangin."

"Heh, sembarangan."

Yang dipanggil memilih menarik Gevan sebelum dia melewati batas, "Maap Jep, monyet saya lepas. Tadi belum dikasih makan makanya gini."

"Oke fine, gapapa gua di anggap monyet. Tapi kasih makan gua pisang."

"Si bangsad." Jefran tak tahan untuk mengumpat. "Mending pulang deh, ga tahan disini lama-lama. Nanti otak polosku ternodai."

"Yah Jep jangan pulang dulu, kita belum threesome. Lu juga belum gua cipok." Raut wajah Gevan semakin menjadi-jadi. Selayaknya om-om, memelas meminta dibelai dengan hangat.

Jefran berteriak, dengan langkah seribu dia berlari menuju pintu kamar Abi, "Pulang dulu Dep, nanti kubantu panggilin dukun buat santet pacarmu. Siapa tau habis muntah paku dia balik jadi waras."

"Ide bagus, sana pulang Jep." Saat bayangan Jefran dibalik pintu menghilang, Abi menendang pantat Gevan hingga terjungkal, "Kamu tuh ya, ga cewek, ga cowok, ga anak gadis, ga tante-tante, ga ibu-ibu, ga anak-anak, pak satpam, bibi kantin, semua kalangan kamu godain."

Dengan ringisan Gevan menjawab, "Shhh, ya gapapa sayang. Aku emang godain semua orang, tapi cuma kamu yang bisa bikin aku tergoda."

"Najisin sial. Makin hari kamu tuh makin cringe tau nggak?"

"Tapi kamu suka kan?"

"Gak."

Gevan cemberut, semakin menjijikan di mata Abi. "Pantatku sakit banget nih kamu tendang, obatin kek. Tadi aja kepalaku kamu elus-elus, kamu tiup-tiup."

"Trus aku juga harus tiup-tiup pantatmu gitu?!"

"Ya kalo kamu mau sekalian cium juga gapapa, eh eh becanda atuh ayang!!" Gevan berhenti menggoda saat dirasa tanduk Abi sudah muncul kepermukaan. Kalau diteruskan bisa-bisa si Jeno yang akan jadi korban.

Dengan langkah miring, Gevan bangkit dari lantai. Memilih mendudukkan bokongnya pada ranjang Abi yang empuk. Kembali melihat keluar, pelangi yang dia lihat telah menghilang. Benar-benar keindahan yang menyakiti mata.

Mengapa sesuatu yang indah hanya bersifat sementara?

Mengalihkan pandangan, Gevan memilih untuk menelisik paras menawan Abi. Keinginan Gevan belum terealisasikan sebab ingin sekali mencabut bulu mata panjang nan lentik itu. Semakin menyelami paras Abi, semakin dalam Gevan jatuh pada pesonanya. Bagaimana bisa Tuhan menciptakan lelaki semanis ini.

"Aku senang kalo kamu galak." Gevan buka suara setelah diam cukup lama. Alis Abi terangkat naik, bertanya tanpa suara. "Biar aku satu-satunya yang bisa menikmati senyummu."

"Jangan senyum sama orang lain, aku ga suka. Apalagi ketawa, makin gasuka. Gapapa diluar kamu kaya nenek lampir, tapi di depanku jadi dirimu sendiri."

Mulut Abi boleh saja masih membisu, tapi jangan tanya hatinya. Posisi mereka berhadapan, dengan Gevan yang di atas ranjang dan Abi yang masih di duduk di lantai.

Gevan tersenyum, bulan itu tampak di garis kelopak matanya. Senyuman yang terlihat sangat tulus, hingga dua netra hitam pekat Gevan tak terlihat. Tangannya mengisyaratkan Abi untuk mendekat. Kemudian terulur mengusak rambut coklat di bawahnya.

Gevan melanjutkan, "Sayang...Jangan terbang terlalu tinggi."

"Maksud kamu? Aku ga terbang, kakiku masih napak di tanah."

"Sayangku terlalu sempurna untuk ukuran manusia, kamu lebih pantas di panggil malaikat. Jadi kalo mau terbang jangan tinggi-tinggi ya...nanti aku susah menggapai kamu."

Abi terkekeh pelan, dia menepuk paha Gevan dengan gemas. "Mulai lagi, dasar!"

"Jangan lari jauh-jauh, aku gabisa ngejar kamu. Langkahku dibelakang terlalu pelan Abiraga, sangat pelan...nyaris terjatuh. Untuk mengimbangi kamu aku ga akan pernah mampu."

"Kamu tuh ngomong apasih? Jangan ngelantur gitu."

"Kamu milikku kan? kamu punya aku." Gevan meraih kedua sisi wajah Abi dengan kedua tangan besarnya. Abi mengangguk, bercermin ke dalam netra Gevan yang berisi ketakutan mendalam.

"Kamu milikku Abiraga, tapi kamu bukan untukku..." Sesak, itu yang Abi rasa. Seakan ada palu menghantam dadanya. Gevan menariknya kembali pada kenyataan.

Abiraga miliknya, tapi tidak diciptakan untuknya

"Kamu itu, ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan." Gevan mengecup pucuk hidung Abi yang mungil. "Coba kamu lihat ke atas sayang..." Abi mendongak, Gevan mengecup rahangnya. "Tuhan mungkin udah ngetawain kita. Ketawa sambil ngutuk, soalnya aku setiap malam selalu minta takdir yang ga pernah Dia tuliskan."

Pandangan Abi turun, kembali bersitatap dengan bola mata Gevan yang dilihatnya berkaca-kaca. Senyuman itu tak kunjung luntur, pun bulan dimatanya masih bersinar. Hidung bangir Gevan menyusuri wajahnya, berhenti di area pipi dan menyesapnya pelan seolah ingin memakan gumpalan daging itu, "Bodohnya, kita sama-sama tau. Jalan yang kita pilih sekarang itu berliku-liku. Bisa jadi, di ujung jalan itu cuma ada luka."

Kini berganti tangan Abi yang menangkup wajah Gevan di atasnya, "Kalaupun itu luka, aku mau berdarah-darah asalkan matiku bersama kamu."

Gevan menyeringai, netra hitamnya terlihat menyala-nyala. "Ini pilihanmu, aku harap ga ada penyesalan."

"Aku ga punya waktu untuk menyesal. Waktuku udah habis cuma buat mencintai kamu."

Begitu saja, Abi merasakan kecupan basah di sudut bibirnya.

sekali

dua kali

tiga kali

Gevan benar-benar mempermainkannya. Jangan lupa dengan fakta bahwa Abi adalah laki-laki yang memiliki nafsu yang sama besarnya. Gevan telah membuatnya meledak-ledak, sekarang Abi tak tahan.

Tubuhnya naik ke atas ranjang, memposisikan diri berada di pangkuan Gevan yang terasa hangat. Meraih dua belah bibir tebal itu dengan lidahnya, kemudian menyesap dengan kuat. Seolah ini adalah kali terakhir dia bisa menikmati candunya. Gevan rasa dia benar tentang candaannya pada Jefran, bahwa Abi memang lelaki haus belaian. Lihat saja ciumannya, Gevan mungkin akan sariawan setelah ini.

Abi masih memimpin pergulatan lidah itu dengan ganas, Gevan di bawahnya hanya diam menikmati sesekali meringis. Bibir Gevan kebas, sudah mati rasa sepertinya. Abi benar tak tanggung-tanggung menciumnya.

Sekian menit berlalu, baru Abi memberi jarak. "Itu hukuman buat kamu karna menggodaku seharian. Hukuman buat kamu karna bikin aku malu. Hukuman buat kamu karna berani bilang kalo aku bukan untukmu."

"...." Gevan masih diam.

"Tapi ini,-" Abi menyesap leher Gevan dengan kuat hingga meninggalkan tanda kemerahan. "Hadiah karna kamu udah berani menentang Tuhan."

Tiba-tiba Abi bangkit, berjalan cepat menuju pintu kamar kemudian keluar. Meninggalkan Gevan dengan nafsu yang baru saja dibangkitkan. Bercermin dengan wajah bodoh, Gevan mengusap bekas yang ditinggalkan Abi pada lehernya. "Anjing, cakep banget karya ayang gua."









Adorasi Dama (NOMIN)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang